Pembangunan pusat data ini diyakini akan mendukung kebijakan satu data Indonesia dalam program electronic government dan pengambilan keputusan berbasis data driven policy. “Jadi perlu kita siapkan dengan benar,” imbuhnya.
Namun, banyak yang menilai bahwa wacana itu patut dipertanyakan dan dikawal prosesnya. Apalagi terkait dengan perlindungan data pribadi. Pasalnya, sampai saat ini, hampir seluruh aplikasi pemerintah masih abai dengan perlindungan data.
Peneliti keamanan siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha menilai superapp yang bagus adalah jika keamanan siber bisa diterapkan dengan maksimal, mulai dari teknologi aplikasi yang mutakhir seperti enkripsi dan pusat data termasuk server.
“Kewajiban menerapkan keamanan siber pada sistem, jaringan maupun aplikasinya itu juga tak kalah penting,” katanya. Selain itu, Super Apps harus ditunjang dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi mumpuni. Ia juga menilai pentingnya regulasi pemerintah dalam hal Undang-Undang Perlindungan data Pengguna (UU PDP) yang kuat, untuk menunjang penerapan super app.
Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Shevierra Danmadiyah mengatakan, kebocoran data terus terjadi lantaran tidak ada perlindungan terhadap data itu sendiri. Padahal kebocoran data membuat orang rentan mengalami teror, intimidasi, hingga Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO).
Sementara itu, hingga hari ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum mengesahkan RUU PDP (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) yang sudah diinisiasi sejak tahun 2016. Dewan malah memperpanjang masa pembahasan hingga masa sidang berikutnya dengan alasan teknis.
Pembahasan RUU PDP sebelumnya mengalami tarik-ulur, karena ada perbedaan pandangan mengenai otoritas lembaga pengawas perlindungan data pribadi. Awalnya pemerintah menyetujui usulan DPR untuk membentuk otoritas perlindungan data pribadi yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden.
Belakangan, pemerintah justru kembali pada sikap awal, yakni menginginkan pembentukan otoritas PDP di bawah Kementerian Kominfo. Akibatnya, terjadi deadlock dalam pembahasan RUU ini. Untuk itulah, RUU PDP mendesak untuk disahkan.
“Kita masih enggak punya kontrol terhadap data kita. Hak-hak atas data kita juga enggak diakomodasi,” ujar Shevierra.
Oleh Inge Klara Safitri dari Tempo MediaLab.