Acara ini juga dihadiri oleh masyarakat umum termasuk para orangtua dan keluarga, komunitas orangtua dan/atau ibu-ibu, mahasiswa dan pelajar, kalangan akademisi, organisasi pasien dan NGO yang bergerak di ranah kesehatan jiwa, media dan karyawan swasta.
Dalam sambutannya, drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid mengatakan, ”Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 September bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seluruh warga dunia akan pentingnya menjaga kesehatan jiwa untuk mencegah pikiran atau tindakan bunuh diri. Bunuh diri dapat dicegah, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pencegahan bunuh diri yang komprehensif melibatkan peran serta berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat.”
Sebagai suatu peyakit, gangguan depresi mayor dengan pikiran hingga perilaku bunuh diri dapat ditangani dengan benar oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan jiwa profesional. Selain itu keluarga dan pendamping berperan penting dalam kesembuhan pasien.
Selain menghadirkan Ratih Ibrahim, M.M., Psikolog, dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ dan Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc, acara webinar MDSI ini juga mengundang 4 (empat) orang panelis, yaitu: Tri Agung Kristanto selaku Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers – Dewan Pers, Benny Prawira, M.Psi – Into The Light Indonesia Founder dan Nurul Eka H. – Ketua II Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia.
Tri Agung Kristanto selaku perwakilan Dewan Pers dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa lebih dari tiga tahun lalu diterbitkan Peraturan Dewan Pers Nomor 2/Peraturan-DP/III/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri.
Peraturan itu tidak disusun oleh Dewan Pers sendiri, tetapi dengan melibatkan berbagai organisasi pers di negeri ini. Namun, harus diakui, tak sedikit media yang tidak memahami pedoman pemberitaan ini, sehingga perlu terus juga disosialisasikan.
Devy Yheanne, Communications & Public Affairs Leader of Johnson & Johnson Pharmaceutical Indonesia & Malaysia menjelaskan, “Sangat penting untuk memberikan edukasi pada masyarakat awam untuk meningkatkan pengetahuan mengenai Gangguan Depresi Mayor (Major Depressive Disorder/MDD) dengan keinginan untuk bunuh diri. Sehingga dapat menurunkan stigma negatif di masyarakat, agar lebih banyak pasien yang berani untuk berkonsultasi dengan tenaga medis profesional di bidang kesehatan jiwa.”
Pendidikan dan pengetahuan mengenai kesehatan jiwa sangat diperlukan untuk menghapus stigma negatif yang ada di masyarakat untuk mendukung kesembuhan pasien. Pasien kesehatan mental terjadi di berbagai kalangan dan banyak penderita berusia produktif.
Berdasarkan temuan utama dari dokumen White Paper di wilayah Asia Pasifik bertajuk “Rising Social and Economic Cost of Major Depression: Seeing the Full Spectrum” yang disponsori oleh Johnson & Johnson Pte. Ltd. dan dilakukan oleh KPMG di Singapura, terdapat kurang dari separuh pasien yang berjuang melawan Gangguan Depresi Mayor (Major Depressive Disorder / MDD) di kawasan Asia Pasifik menerima diagnosis, yang tepat, dengan 71% pasien MDD menderita gejala yang memburuk karena pengobatan tidak disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Devy menambahkan, “Data dari White Paper tersebut mengungkapkan bahwa Asia Pasifik memiliki tingkat penyakit depresi dan penyakit jiwa yang jauh lebih tinggi daripada bagian lain dunia. Dokumen tersebut menyoroti bahwa orang yang hidup dengan depresi 40% kurang produktif daripada individu yang sehat, sedangkan harapan hidup seseorang dengan MDD adalah 20 tahun lebih pendek dari rata-rata.”