Minggu, November 17, 2024

Emiten green energy berpeluang untuk dikoleksi investor 

Must read

Minat anak muda berinvestasi saham di pasar modal terus tumbuh tiap tahunnya. Generasi milenial lebih cenderung memilih saham-saham yang mengutamakan praktik Environmental, Social, Governance (ESG) atau biasa disebut dengan istilan green investment. Meski demikian, menurut ekonom dari Perbanas Institute Piter Abdullah, cara berpikir investor biasanya tidak bisa diajak idealis. Mereka lebih memilih saham-saham yang menghasilkan keuntungan meskipun emiten tersebut tidak ramah lingkungan.

“Kita ambil contoh batu bara, ini adalah sektor yang sama sekali tidak ramah lingkungan. Namun saham-saham di industri ini sangat menguntungkan. Karena itu pemerintah perlu mengajak dan mengeduasi masyarakat untuk mendukung perusahaan-perusahaan yang membangun proyek-proyek ramah lingkungan,” tuturnya saat dihubungi Jakarta (19/9).

Menurut Piter, perusahaan yang mengusung proyek-proyek ramah lingkungan juga bisa menghasilkan keuntungan di masa depan, dan sektor yang termasuk prospektif adalah farmasi.

“Jika perusahaan yang ramah lingkungan bisa menghasilkan profit, maka pasti akan dipilih juga oleh investor,” ungkapnya.

Seperti diketahui, PT Phapros Tbk, merupakan perusahaan milik negara yang menerapkan green energy sebagai bentuk komitmen untuk mengurangi emisi karbon. Emiten berkode saham PEHA tersebut memanfaatkan teknologi washing steriline pada fasilitas produksi produk injeksi.

Modifikasi pada mesin-mesin tersebut berhasil menurunkan konsumsi air hingga 50 persen atau 225 ribu liter per tahun dan meningkatkan efisiensi perusahaan sebesar 12,9 persen per tahun. Phapros sendiri berhasil memperoleh PROPER Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebanyak 8 kali sejak 2012 – 2020.

Menurut Technical Analyst dari BCA Sekuritas Achmad Yaki Yamani, secara bisnis, saham Phapros sangat menarik terutama setelah melakukan transformasi green energy dari BBM solar ke CNG dan juga panel surya karena adanya potensi efisiensi. 

“Pelemahan rupiah berpotensi menjadi sentiment negatif yang harus diantisipasi emiten farmasi karena banyak raw material yang masih impor dari Eropa, China dan India. Salah satu cara antisipasinya adalah melakukan hedging kurs.”

Pakar industri farmasi dari Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi (STTIF) Bogor Siti Mariam mengatakan bahwa sektor ini bisa lebih berkembang setelah pemerintah mencanangkan program Pentahelix di mana pemerintah, pengusaha, akademisi, masyarakat dan media berkolaborasi untuk meningkatkan kerjasama dalam mendukung akselerasi riset bahan baku farmasi sehingga ketergantungan bahan baku import bisa secara bertahap dikurangi. 

“Ketersedian sumberdaya bahan baku dalam negeri sebenarnya sangat berlimpah. Salah satunya eksipien yang merupakan bahan aditif yang tersedia melimpah di negeri ini, karena bisa didapatkan dari singkong,” ungkapnya.

Menurut Siti, dari sisi bisnis perusahaan-perusahaan farmasi masih cukup menarik bagi investor sepanjang memiliki kinerja yang baik, terutama fokus  terhadap riset, mendorong penemuan-penemuan obat baru dengan kolaborasi yang baik dengan perguruan tinggi maupun dengan lembaga riset lainnya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article