2. Selain sebagai pelaku (dader) dalam bentuk menyiarkan, pers dapat juga sebagai peserta (mede dader), atau sebagai penganjur atau membujuk (uitlokker).
Lebih lanjut, Prof Bagir juga membeberkan 5 catatan lain berkaitan dengan ruang lingkup materi muatan atau substansi RUU KUHP yang terkait pers:
Pertama, bagian terbanyak materi muatan (substansi) RUU KUHP sekedar memindahkan (adopsi) ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP yang sekarang masih berlaku (warisan kolonial). Karena itu, tidak mengherankan masih didapati ketentuan-ketentuan “haat-zai artikelen” delik menyebarkan kebencian atau permusuhan.
Kedua, perluasan substansi, seperti pemidanaan yang berkaitan dengan komunisme/Marxisme-Leninisme, ideologi Pancasila, bentuk NKRI, terorisme. Termasuk juga perluasan substansi yang sudah ada seperti hal-hal yang bertalian dengan dengan kebhinekaan, agama dan lain-lain.
Perluasan-perluasan ini, tulis Prof Bagir, didasarkan pada hipotesis atau asumsi potensi ancaman terhadap hal-hal tersebut. Tetapi perlu senantiasa diingat bahwa ancaman pidana atau pemidanaan sekali pun merupakan optimum remedium tetap merupakan tindakan yang bersifat represif. “Apakah mengedepankan tindakan represif itu tidak bertentangan dengan UUD 1945? “Apakah tidak semestinya yang dikedepankan adalah upaya “nonrepresif dari upaya “represif”?
Ketiga, penggunaan sebutan-sebutan yang dapat dimaknai “mulur mungkret” sehingga dapat lebih bermakna represif. Apakah substansi hukum “merendahkan harkat dan martabat”, sehingga dapat lebih bermakna represif”? Apakah substansi “menyebarkan komunisme/Marxisme-Leninisme”? Apakah seorang dosen yang menjelaskan kepada mahasiswa ajaran hukum Marxisme, dapat digolongkan sedang menyebarkan Marxisme? Apakah pers yang terus menerus memberitahukan atau menyiarkan, misalnya, mengenai raja-raja yang bermunculan sekarang ini dipandang menggerogoti NKRI?”
Keempat, didapati (dalam RUU KUHP) berbagai tindak pidana yang serupa dengan yang dulu diatur KUH Pidana, tetapi dalam rancangan KUHP diancam dengan pidana badan atau denda yang lebih berat.
Kelima, terkait RUU KUHP dan kemerdekaan pers, paling tidak, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian. Yakni, pertama, “perluasan cakupan tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap pers”. Kedua, “ancaman pidana yang lebih berat.”
Menyorot tajam pasal-pasal ancaman dalam RUU KUHP, Prof Bagir kemudian mempertanyakan: “Kok banyak betul ketentuan yang mengandung muatan “belenggu terhadap kebebasan cq kebebasan pers. Sadar atau tidak sadar, menghadirkan ketentuan-ketentuan tersebut, kita masih meneruskan politik ‘haat-zaai artikelen’ kolonial.”