Minggu, Desember 29, 2024

Prof Bagir Manan: Krisis intelektual dan ancaman kemerdekaan pers dari RUU KUHP

Must read

Perlu sekali dicatat, lanjut pakar hukum senior itu, ketentuan-ketentuan semacam itu bukan hanya belenggu bagi yang terkena (seperti pers), tetapi juga bagi penguasa sendiri. Antara lain, betapa sulitnya menentukan perbedaan penindakan yang “legitimate” (sah) dan “arbitrary” (sewenang-wenang).

Memang, tulis Prof Bagir, kebebasan tidak absolut. Sekali pun dimaknai seluas-luasnya, tetapi tetap ada batasnya. Yaitu, tidak mencederai kebebasan orang lain, tidak mencederai hak-hak orang lain yang mesti dilindungi, seperti nama baik, fitnah berita bohong, dan lain-lain.

Namun, dia mengingatkan juga, jangan sampai ketentuan-ketentuan dalam RUU KUHP, tanpa disadari jadi menafsirkan bahwa kebebasan cq kebebasan pers itu bukan lagi sesuatu yang paling mulia (the most prestigous rights).

Seperti pernah ditulis imuwan politik keturunan Jerman-AS Carl J. Fiedriech dalam “Constitutional Goverment and Democracy.” Bahwa, “kebebasan tidak lagi mesti bermakna kebebasan menggunakan pers untuk menyampaikan (mengutarakan) suatu pendapat (pandangan) tertentu. Saat ini kebebasan pers acap kali diberi makna sebagai perlindungan terhadap perusahaan besar untuk memanfaatkan kata yang dicetak (dalam pers) untuk memperoleh uang, tanpa memandang segi-segi moral, sosial, atau akibat-akibat lain dari kata-kata yang tercetak itu, dan tanpa memandang siapa yang menulis kata-kata yang dicetak itu.”

Melanjutkan telaahnya, Prof Bagir menyatakan, kita percaya, para perancang RUU KUHP adalah para cendekiawan, yang mencintai kebebasan dan berwawasan luas. Namun, paling kurang, ada hal yang membedakannya dengan para penyusun dan anggota Kongres AS yang menyetujui Amandemen I (supra). Yaitu, dalam meletakkan/menempatkan wawasan.

Para penyusun dan Kongres berwawasan optimistik. Bahwa rakyat akan menjadi penjaga yang gigjh dan tangguh agar tidak terjadi penyalahgunaan kebebasan cq kebebasan pers.

Sebaliknya wawasan para perancang RUU KUHP bertolak dari asumsi mencegah “penyalahgunaan” kebebasan qc kebebasan. Di sini, berlaku prinsip “mencegah” lebih baik dari pada “memperbaiki” atau “memulihkan”.

Cara pandang semacam ini, simpul Prof Bagir, dapat bernuansa “kesuraman” atas masa depan karena lebih didominasi oleh nuansa serba pelanggaran.

14 November 2022

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article