Kehadiran saksi ahli dari BPOM dalam kasus gagal ginjal akut dinilai sangat membantu proses penyelidikan secara signifikan. Menurut pakar hukum medis Universitas Hang Tuah Surabaya Eko Pujiyono, saksi ahli diminta keterangannya karena kapasitas keilmuan serta pengalamannya sehingga bisa membuat terang suatu perkara.
“Keterangan saksi ahli itu diatur dalam pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kapasitas saksi ahli BPOM lahir dari keilmuan dan pengalaman yang mereka miliki sehingga tentunya kolaborasi BPOM dengan Bareskrim ini bisa mempercepat proses penyelidikan atas peristiwa gagal ginjal akut,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta (17/11).
Terkait penanggungjawab dari kasus tersebut, Eko mengutip Instruksi Presiden No 3/2017 mengenai Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan. Menurutnya, pengawasan obat dan makanan tidak hanya dibebankan pada BPOM namun juga beberapa lembaga atau institusi pemerintah yang lain, dimulai sejak tahap pengadaan bahan, tahapan produksi, distribusi atau penyaluran hingga pada tahap penggunaan dalam sistem pelayanan. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang investigasi dalam suatu kasus, tidak bisa hanya pada satu titik saja namun harus mulai dari hulu ke hilir.
“Dalam konteks pengadaan bahan, Presiden menginstruksikan kementerian tertentu untuk melakukan peningkatan dalam hal pengawasan terhadap pengadaan impor. Dalam tahapan produksi, kementerian lain dituntut untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan bahan berbahaya yang disalahgunakan dalam proses produksi. Ini juga berkaitan dengan Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.”
Menurut peraih gelar Doktor Hukum Medis di Universitas Airlangga tersebut, sangat jelas bahwa BPOM perlu diberikan kewenangan tambahan terkait pengawasan obat dan makanan.
“Keberadaan BPOM tidak cukup hanya dari Peraturan Presiden No 80/2017. Artinya, pada masa yang akan datang, harus ada peraturan yang membahas khusus tentang pengawasan obat dan makanan agar kewenangan-kewenangan BPOM ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang, apakah sejak pengadaan bahan, pada tahap produksi dan distribusi, ini yang harus dirumuskan secara jelas.”
Eko pun menyarankan harus ada kordinasi yang kuat antar departemen yang telah diamanahkan oleh Instruksi Presiden 3/2017 tersebut agar pengawasan lebih efektif.
“Koordinasi yang efektif bisa mengantisipasi dan mencegah hal-hal yang berdampak pada masyarakat.”
Sejak tanggal 7 Oktober yang lalu, BPOM telah melakukan serangkaian tindak lanjut dari kasus Kejadian Tidak Diinginkan Acute Kidney Injury (KTD AKI) tersebut seperti investigasi dan penelusuran obat yang digunakan pasien, intensifikasi surveilans mutu produk, pendalaman hasil pengawasan, analisis kausalitas bersama pakar, serta pemberian sanksi administrasi kepada industri farmasi atas ketidaksesuaian atau pelanggaran peraturan. Pada periode 21 Oktober hingga 10 November 2022, BPOM telah menerima 54 laporan KTD AKI dari 13 provinsi untuk kajian kausalitas KTD dengan obat.