Twitter kini menjadi platform utama bagi pendukung ujaran kebencian. Tepat di hari Elon Musk menutup pembelian Twitter sebesar USD 44 miliar, secara serentak akun-akun jahat mencuit cercaan terhadap orang kulit hitam.
Network Contagion Research Institute (NCRI), sebuah organisasi independen yang bermisi untuk mengidentifikasi ancaman sosial-siber, mencatat lonjakan kata-n (N-word) sebesar 500 persen selama 12 jam terakhir. Pekan berikutnya, cuitan yang mengandung kata “Yahudi” meningkat lima kali lipat–bahkan sebelum pengalihan kepemilikan.
Cuitan dengan bahasa misoginis dan fobia terhadap transgender, juga naik drastis. Mantan Kepala Keamanan dan Integritas Twitter, Yoel Roth, merinci bahwa sebagian besar cuitan itu berasal dari 300 akun “tidak asli”.
Yang tak kalah mengkhawatirkan, Twitter di era Elon Musk justru berhenti memberlakukan penindakan tegas terhadap akun-akun yang menyebarkan informasi sesat soal Covid-19 per 23 November 2022.
Padahal aturan tersebut merupakan upaya penting melawan “misinformasi yang membahayakan” tentang virus dan vaksinnya sejak awal pandemi. Berkat aturan ini, Twitter menangguhkan lebih dari 11.000 akun karena melanggar dan menghapus hampir 100.000 konten antara Januari 2020 dan September 2022.
Sebagai pengguna Twitter ini, apakah Anda merasa langkah-langkah baru tersebut dapat menjaga ruang publik digital yang bebas sekaligus sehat? (Inge Klara Safitri – Tempo Media Lab)