Jumat, Desember 6, 2024

Zoya

Must read

Oleh Islah Bahrawi

“Menjadi seorang wanita di bawah pemerintahan Taliban adalah nyawa yang tergantung dalam tiupan angin,” kata Zoya dalam memoarnya.

Zoya telah menyaksikan dan mengalami lebih banyak tragedi daripada yang dialami kebanyakan orang dalam hidupnya. Lahir di sebuah negeri yang tak pernah lelah berperang bernama Afghanistan. Hampir setiap orang lahir dalam situasi perang, dan hampir semua orang kehilangan kerabat karena mati berperang. Orang tuanya dibunuh oleh Taliban ketika Zoya masih kecil.

Setelah itu Taliban berkuasa.

Wanita bersuami adalah binatang berwujud manusia. Ia hidup di kandang dan di ranjang. Dua petak ruang yang melelahkan. Zoya yang mulai beranjak dewasa, melihat semuanya dengan getir.

Dalam amarah yang tumpah dia melarikan diri dari Kabul dan memulai hidup baru dalam pengasingan di Pakistan. Dia bergabung dengan Asosiasi Revolusioner Wanita Afghanistan. Organisasi yang menentang Taliban terkait diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan.

Keluarga Zoya telah dilenyapkan. Terutama ibunya yang memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan, harus terbunuh karena dianggap pemberontak terhadap hukum Islam ala Taliban. Rasa sakit kehilangan orang-orang yang dicintainya, membuatnya harus menemukan penyembuhan yang menuntunnya ke jalur perlawanan.

Zoya lalu mengambil takdir ke tangannya sendiri, bergabung dengan perang rahasia yang berbahaya untuk menyelamatkan bangsanya.

Beberapa tahun kemudian, Zoya kembali ke Afghanistan. Dia melihat langsung kengerian demi kengerian pemerintahan Taliban; pria diamputasi karena pencurian, wanita yang ujung jarinya dipotong karena memakai cat kuku dan pencambukan wanita di muka umum.

Tapi pertunjukan itu justru membuatnya lebih berani. Zoya menjadi pemberontak tak bersenjata menentang Taliban dengan mengadakan sekolah rahasia bagi perempuan. Termasuk mengawal kaum perempuan di ruang publik agar tidak dilecehkan.

Zoya ingin menghidupkan realitas manusia Afghanistan tumbuh dalam budaya Muslim yang normal. Baginya, kekerasan atas nama agama hanya mematikan apapun yang seharusnya dijaga untuk selalu hidup, “yakni rahmat bagi siapapun di alam semesta,” katanya lirih.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article