Oleh Islah Bahrawi
India pernah mengalami kematian hebat dalam wabah penyakit menular pada tahun 1918. Pujangga Suryakant Tripathi menceritakan petilan kisah pahit dalam Kulli Bhat.
“Segera kembali, istrimu sakit parah”, pesan telegram diterima oleh Nirala dalam rantau di Delhi. Dia bergegas naik kereta ke kampung halamannya di Uttar Pradesh. Ketika Nirala mencapai tepi Sungai Gangga, dia mengamati bahwa sungai yang disucikan itu telah membengkak dengan mayat.
Di rumah, istrinya sudah meninggal. Menyusul seluruh anggota keluarganya tak tersisa bergelimpangan. Sebuah laporan dari pemerintahan kolonial Inggris saat itu tertulis: “Semua sungai dan bendungan di seluruh India tersumbat dengan mayat karena kekurangan kayu bakar untuk kremasi”.
Hampir semua sungai di India hari ini tercemar dan membengkak oleh sampah plastik. India adalah negara berpenduduk 1,4 miliar yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri dengan politisasi agama sebagai jurus utama untuk meraih kekuasaannya. Kesenjangan sosial seperti langit dan bumi, ekologi yang hancur-hancuran, serta ekstremisme kalangan nasionalis Hindu yang semakin tak terkendali, adalah keseharian India.
Tapi mayoritas rakyat India menutup mata atas semua itu. Modi dianggap pejuang agama yang akan melakukan “Saffronization” (Hinduisasi) ke seluruh dunia dari India. Bangunan kebencian kepada kelompok minoritas Muslim dan Kristen dinormalisasi secara struktural.
Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan sejarawan India, Audrey Truschke; “Kekuasaan yang diraih dengan politisasi agama, setiap cacat penguasa akan terlihat sebagai prestasi, dan setiap bangunan yang didirikannya akan menjadi berhala suci”. (*)