Dari angka itu, volume penjualan galon berbahan kemasan plastik PET, termasuk yang diproduksi Le Mineral, meningkat pesat hingga 31% menjadi 818 juta liter. Ini lonjakan tajam bila dibandingkan dengan volume penjualan Danone Aqua yang justru susut 0,67% menjadi 6,5 miliar liter meski secara keseluruhan, Danone Aqua tercatat masih menguasai sekitar 60% pasar galon bermerek nasional.
Terbaru, sejumlah influencer mendadak tampil menyiarkan konten yang mendiskreditkan Le Minerale dan sejumlah brand lainnya. Contoh terbaru mudah dilihat pada konten Tiktok dari @prazteguh yang dengan jelas dan nyata memfitnah sejumlah brand yang digambarkan berasa pahit dan lain sebagainya.
Anehnya, kampanye berbayar itu hanya memuji satu brand, yakni si pemimpin pasar. Tengok pula kampanye negatif di media macam Mantra Sukabumi, yang menyebut 5 bahaya tersembunyi pada produk Le Minerale. Belakangan, media bagian dari Pikiran Rakyat Media Network ini menghapus beberapa artikelnya.
Faisal mengingatkan media untuk cermat mendeteksi upaya black campaign serupa, termasuk dalam isu lingkungan. “Praktik greenwashing perlu diwaspadai sehingga media tak terjebak mengkampanyekan hal yang justru keliru,” tegas Faisal.
‘Greenwashing’, katanya, mudah dikenali dari laku perusahaan atau organisasi yang jor-joran mencitrakan dirinya ke publik sebagai perusahaan “ramah lingkungan” ketimbang meminimalkan dampak negatif produk dan aktivitas perusahaan pada lingkungan.
“Dengan greenwashing, perusahaan bisa memunculkan dirinya sebagai pahlawan lingkungan padahal, bisa jadi, dia adalah salah satu pencemar plastik di lingkungan nomor wahid,” ujar Faisal.
Pembicara lainnya dalam diskusi KJEJ, Kepala Center For Entrepreneurship, Tourism, Information and Strategy Pascasarjana Universitas Sahid, Algooth Putranto, menilai media saat ini belum maksimal dalam menyajikan berita terkait isu Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon, utamanya dari aspek kesehatan maupun aspek lingkungan hidup.
Dia mencontohkan masih minimnya pemberitaan yang komprehensif terkait risiko Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang. “Misalnya, jika regulator mengatakan BPA pada galon polikarbonat aman asalkan sesuai dengan kriteria Standar Nasional Indonesia (SNI), media seharusnya aktif menggali dasar pernyataan tersebut. Ini perlu dilakukan karena di Eropa dan Amerika, sejak lama sudah ada peringatan dan bahkan larangan dari orotitas keamanan pangan atas kemasan pangan yang berisiko mengandung BPA,” katanya.
Sebagai catatan, BPA adalah senyawa kimia yang dapat memicu kanker, gangguan hormonal dan kesuburan pada pria dan wanita, serta gangguan tumbuh kembang janin dan anak. Jamak digunakan sebagai bahan baku produksi galon guna ulang, senyawa tersebut diketahui mudah luruh dari kemasan galon dan rawan terminum oleh konsumen hingga ke level yang melebihi ambang batas aman.