Tak kurang absurnya, kepemimpinan Wali Kota M Idris adalah memutar lagu di lampu merah. Tak tanggung-tanggung, lagu yang diputar di setiap lampu merah tersebut adalah lagu ciptaan Koko Thole yang dinyanyikan oleh M Idris sendiri yang berjudul “Hati-Hati”.
Konon, ide menyanyi di lampu merah itu merupakan bagian dari program “Joyfull Traffic management” (Joytram) yang dibuat oleh Dinas Perhubungan Kota Depok.
Program kontroversi lainnya, adalah Kartu Depok Sejahtera yang menuai mosi tidak percaya dari 38 anggota DPRD Kota Depok. Pemicunya, adalah dugaan program KDS tersebut telah dipolitisasi untuk kepentingan Partai Keadilan Sejahtera, partai asal M Idris.
Ke-38 anggota DPRD Depok yang memberikan mosi tidak percaya berasal dari beberapa fraksi, di antaranya PDIP, PAN, Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP dan PKB-PSI.
Jadi, apa yang layak dibanggakan dari model kepemimpinan yang “ngasal” itu? Kebijakannya nyaris tanpa kajian, reaktif, spontan, lalu ditarik kembali, setelah ada perlawanan, rnolakan dan kontroversi. Atau hilang diam diam, setelah jadi olok olok warga.
Dengan model kepemimpinan seperti itu, Walikota M. Idris merasa memahami dan mewakili karakter warga Depok?
Phuiih….
Selama 18 tahun terakhir, Kota Depok telah menjadi basis PKS. Setelah era Badrul Kamal – Yus Ruswandi yang maju lewat jalur independen, penguasa selanjutnya di Depok selalu dari PKS, tepatnya sejak 2006. Sebut saja Nur Mahmudi Ismail yang terpilih sebanyak dua periode. Dilanjutkan Mohammad Idris. Ia memimpin sejak 2006 hingga 2024 mendatang.
Mendadak kini muncul Kaesang Pangarep yang membikin panik PKS, sehingga walikotanya gemetar, ngegas dan asbun.
Saya masih belum yakin Kaesang Pangarep akan memenangi Pilwakot Depok, jika dia benar benar maju dan mencalonkan diri.
Tapi saya akan membantu memenangkannya, untuk mengakhiri kekuasaan rezim di kota tempat saya tinggal – dari dominasi politisi partai kepanjangan kelompok Islam TransNasional Ikhwanul Muslimin, yang intoleran ini.
Penulis adalah wartawan, tinggal di Depok sejak awal 1980.