Oleh Farid Gaban
Di pekarangan yang tidak terlalu luas, kami menanam aneka tanaman: rempah, buah, sayuran dan kembang.
Ada singkong dan ganyong (sejenis umbi-umbian). Ada pohon sirsak, kakao, jambu, dan pisang. Ada pula selada dan pepaya jepang.
Pada saat-saat tertentu, kami membuat tepung dari kulit pisang yang sudsh dikeringkan. Tepung kulit pisang bisa dibuat untuk es krim, tapi umumnya kami pakai untuk mengoreng pisang. Pisang goreng dengan tepung kulit pisang.
Kulit pisang biasanya dianggap limbah. Dibuang begitu saja. Sama juga dengan kulit singkong. Tapi, kami kadang juga membuat dendeng dari kulit singkong ini.
Itu beberapa kesenangan yang kami nikmati di desa: mensyukuri hal-hal sederhana.
Jika kita bisa menikmati dan mengambil manfaat bahkan dari apa yang orang lihat sebagai limbah, kita akan mensyukuri semua yang lebih dari itu.
Hampir semua hal bisa kita syukuri. Kita akan merasa kaya dan berkelimpahan. Dan seperti itulah kehidupan di banyak desa-desa kita, terutama di masa lalu.
Jika kita merasa berkelimpahan, kita akan cenderung lebih santai dan menyenangkan. Kita percaya bahwa semua hal akan cukup buat semua orang. Dan kita akan ditantang untuk membuat semua hal cukup bagi semua orang. Itu menumbuhkan kerjasama dan gotong-royong.
Orang modern seperti Stephen Covey (The 7 Habits of Highly Effective People) menyebutnya sebagai “the abundance mentality”:
“It is the paradigm that there is plenty out there and enough to spare for everybody. It results in sharing of prestige, of recognition, of profits, of decision making. It opens possibilities, options, alternatives, and creativity.”
Kita ikut senang melihat sukses orang lain, dan bisa bersama-sama terlibat untuk mewujudkan sukses bersama.
Kebalikan dari itu adalah “the scarcity mentality” yang sering diidentikkan dengan spirit kapitalisme: mendorong kompetisi, ketegangan, bahkan perang. “The Scarcity mentality” adalah paradigma hidup menang-kalah (zero-sum).
“The Abundance Mentality, on the other hand, flows out of a deep inner sense of personal worth and security.”
Jauh sebelum Covey, para leluhur kita di desa-desa paham tentang itu. Dan jika kita ingin Pancasila punya manfaat dari sekadar omong kosong, mentalitas seperti itu yang harus kita temukan kembali.