Apakah perjalanan hidup dan kreativitas seorang Djoko Pekik begitu mulusnya seperti tersirat di atas? Ternyata tidak. Lelaki kelahiran Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah, 2 Januari 1937 ini melewati alur hidup puluhan tahun dalam dinamika pasang naik dan pasang surut yang menyesakkan. Di antara gebyar kebintangan berikut pencapaian materialnya kini, dulu, Pekik melewatinya dengan nasib yang seperti menyungkurkannya dalam lembah keterbatasan.
Tahun 1957, ketika berusia 20 tahun, Djoko Pekik muda nekat pergi ke kota Yogyakarta untuk mengadu nasib. Keinginannya sangat kuat ketika akan pergi ke Kota Gudheg itu: masuk sekolah seni dan menjadi seniman. Dia memilih ke Yogya setelah membaca pengumuman tentang penerimaan mahasiswa baru ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di majalah berbahasa Jawa terbitan Surabaya, Panjebar Semangat.
Orang tuanya berkorban demi cita-cita sang anak dengan menjual seekor sapi. Pekik sendiri mendasarkan pilihannya tersebut pada kegemarannya menggambar sejak kecil. “Aku itu sering menang lomba menggambar waktu sekolah,” tutur pak Pekik siang itu. Pencapaian itu, bagi Pekik, bisa memberi secuil gambaran betapa minatnya pada dunia seni rupa begitu besar sejak usia dini. Dan masuk ke perguruan tinggi seni menjadi kanalisasi yang tepat untuk menjadi seniman.
Akhirnya Djoko Pekik muda diterima masuk kuliah di ASRI. Awalnya dia cukup terkaget-kaget ketika menyaksikan banyak karya yang terpampang di kampus milik kakak kelasnya, atau karya seniman lain, yang tidak masuk dalam logikanya sebagai anak kecil yang awam.
“Banyak saya lihat lukisan mereka itu pating plethot. Melukis anatomi manusia saja tidak bisa. Tapi lama-lama saya paham, ooo… ternyata seni rupa itu ya tidak hanya mencontek obyek benda yang ada di alam apa adanya. Itulah seni, hehehe…” katanya sambil terkekeh.
Pelan-pelan, dia menyadari juga bahwa dalam dunia seni rupa itu demokratis. Semua orang bisa menggambar atau melukis apa saja dengan cara apapun juga, asal selaras dengan kemauan dari dalam diri.
Aktivitasnya sebagai mahasiswa semakin berkembang dan padat ketika dia masuk dalam kegiatan di luar kampus. Djoko Pekik memilih aktif dalam Sanggar Bumi Tarung yang didirikan oleh pentolannya yakni Amrus Natalsja, kakak kelasnya. Bumi Tarung sebetulnya singkatan dari keberpihakan sanggar itu pada buruh (yang tersirat pada kata bumi) dan tani (tersirat pada kata tarung).
Sanggar ini memilih berhaluan kiri. Dan kecenderungan karya seni yang disebut sebagai realisme sosial tumbuh di sini. Djoko Pekik sendiri berkuliah di ASRI antara tahun 1957 hingga 1962. Selepas kulaih masih aktif di Sanggar Bumi Tarung. Hal positif yang didapatkan dalam sanggar ini, bagi Pekik, adalah atmosfir intelektualitas yang terbangun antar-anggotanya. Mereka sering punya agenda untuk berdiskusi tentang apa saja yang dikaitkan dengan dunia seni.
Di samping itu, ada upaya untuk menyosialisasikan diri dengan masyarakat. Komunitas itu seperti punya hasrat untuk menjadikan para anggotanya kelak menjadi seniman yang dekat dengan masyarakat berikut segenap lekuk-liku persoalannya. Contoh konkretnya adalah dengan praktik melukis dalam masyarakat.
“Misalnya, yang paling saya kenang adalah turba (turun ke bawah) di daerah Trisik, di dekat pantai, di kabupaten Kulon Progo. Saya tinggal dan berkarya di sana rencananya selama dua minggu,” kisah Pekik. Dia bersama teman-temannya tinggal di rumah kepala dukuh setempat.
Menariknya, dia justru mendapatkan banyak cerita, curhat dan aduan dari masyarakat setempat yang sebagian besar hanya menjadi petani gurem atau petani tanpa kepemilikan lahan pertanian.