Kondisi ekonomi keluarga Pekik makin memburuk pada tahun 1988 ketika jembatan besar di sebelah timur rumahnya ditutup untuk direnovasi total. Itu berpengaruh pada usahanya karena para pelanggan tidak bisa datang ke tempatnya lagi. Pelanggan baru pun tak mungkin karena tempat usahanya jadi tersembunyi karena tak ada akses jalan.
Tapi tampaknya nasib mulai bergerak. Ketika umatNya mulai angkat tangan, Tuhan justru turun tangan. Tahun itu juga Djoko Pekik mendapatkan undangan untuk berpameran dalam Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang mulai berlangsung untuk pertama kalinya.
Juga ada Biennale Jogja, sebuah perhelatan seni rupa yang juga pertama kali digelar di kota Yogyakarta. Dari situlah semangatnya untuk berkarya dan menjadi seniman “kuda balap” kian besar. Apalagi, pelan-pelan pencapaian ekonomi dari karya-karyanya mendapat apresiasi yang memadai.
*
Keteguhan seorang Djoko Pekik pada pilihan hidup dan pilihan profesinya, kekuatannya untuk bersabar menghadapi sekian banyak onak kehidupan, keterhimpitannya menghadapi hukuman social yang menyesakkan, tidaklah gampang untuk dilupakan.
Juga kekuatan batin sang istri, Tini Suwartiningsih yang tegar menghadapi masa awal-awal perkawinan tanpa kebersamaan yang total dengan suami karena Djoko Pekik berada dalam penjara di benteng Vredeburg.
Delapan anak pasangan ini lahir dalam masa-masa sulit secara ekonomi dan sosial karena cap yang negatif atas sang ayah. Pada merekalah, tampaknya, Djoko Pekik memonumenkan semangat hidupnya lewat nama-nama yang unik, aneh, namun artistik, dengan menekankan aspek lokalitasnya.
Nama-nama anaknya itu: Gogor Bangsa (gogor: anak macan), Loko Nusa (loko, dari kata lokomotif, bukan hanya jadi gerbong), Lugut Lateng (bulu halus pada bayam yang panas kalau dipegang), Nihil Pakuril (seperti resistensi pada kata/nama Pakubuwono, Paku Alam, dll.), Ri Kemarung (duri pada umbi gembili yang keras dan beracun), Sengat Canthang (canthang, semut hitam yang ganas), Layung Sore (cahaya jingga yang terang saat senja), dan Parang Wungu (seperti ombak pantai Parangtritis).
Nama-nama itu seperti dikreasi oleh Pekik dengan kesadaran penuh menggugah dirinya, juga mengingatkan kepada anak-anaknya bahwa hidup itu pasti ada pasang-surutnya, ada naik-turunnya.
Kalau sekarang seorang Djoko Pekik telah nyaman tinggal di rumahnya di tengah-tengah tanah miliknya yang seluas 3 hektar di Bantul itu, semuanya hanya titik happy ending yang awalnya tidak terpikirkan bahkan oleh diri Pekik sendiri.
Kalau seorang Djoko Pekik bercita-cita untuk menghijaukan seteduh-teduhnya areal tanah miliknya hingga serupa hutan itu, segalanya seperti dipulangkan pada ingatan masa kecilnya yang ingin memandang negeri ini penuh sumber daya yang bisa memberdayakan diri sendiri. Tidak sangat bergantung pada pihak lain.
Kuss Indarto, kurator dan penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta.