Taruhlah kita mau tegakkan keadilan sampai langit runtuh, pertanyaannya, “Ice Cold” kasih fakta baru yang berkualitas atau tidak untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya?
Media arus utama, seperti koran Kompas dan Tempo, saya lihat tidak terlalu “semangat” menanggapi. Barang ini justru terlihat ramai di media online segmen hiburan, akun influencer medsos, podcast, bahkan sampai cenayang.
Review pun saya lihat dibuat “seadanya” seperti di Cinejour, Film Fugitives, Filmzzine, Heaven of Horror, LeisureByte, Midgard Times, Movie Reviews 101. Sutradaranya Rob Sixsmith, yang bikin “The Raincoat Killer: Chasing a Predator in Korea (2021).
Tapi saya belum lihat ada media yang wawancara Bince Mulyono, produser dokumenter ini di Indonesia, untuk tanya apa maksud dokumenter ini, bagaimana riset dilakukan, berapa biaya produksi, dari mana duitnya dan sebagainya.
Saya tidak lihat “Ice Cold” mengangkat dan menguji fakta persidangan hingga yang dipertimbangkan dalam putusan hakim tapi malah justru ke hal-hal di luar konteks macam mewawancarai orang secara acak di jalan hingga menutup dengan seorang barista yang bicara sejarah kopi dan Max Havelaar.
Mana fakta baru yang menunjukkan pembunuhnya bukan Jessica? Mana fakta penegak hukumnya disuap untuk merekayasa kasus? Jika pun ada, kenapa tidak diajukan saat PK pertama!
Awalnya saya tidak berniat membuat status tentang “Ice Cold”, tapi saya kesal karena beberapa media membesar-besarkan pernyataan seorang cenayang tentang kasus Mirna.
Fokuslah ke fakta-fakta. Apa yang ramai sekarang saya lihat sudah termuat dalam putusan.
Contoh saya kutip dari putusan kasasi: Natrium sianida di tubuh Mirna cuma 0,2 mg/l sehingga tidak dapat menimbulkan kematian?
Putusan kasasi bilang 0,2 yang terdeteksi di lambung Mirna itu diambil setelah 3 hari kematian dan juga setelah dilakukan pengawetan mayat formalin.