Akurasi lembaga survei ini bisa dilacak di Google search. Tiga lembaga itu adalah yang kebetulan melakukan survei paska putusan MK, bahkan setelah Gibran dideklarasi sebagai cawapres.
Tiga lembaga survei itu: Indikator Politik, LSI dan LSI Denny JA. Bagaimana publik menilai Gibran sebagai cawapres Prabowo, tergambar dari seberapa banyak yang memilih pasangan itu: Prabowo – Gibran?
Jika publik kecewa, tentu saja mereka tak memilih pasangan yang mengecewakan. Jika mereka putus asa pada Jokowi, hal yang lumrah saja, jika mereka tak memilih pasangan capres dan cawapres yang paling terasosiasi dengan Jokowi.
Indikator Politik mengumumkan, bahwa setelah putusan MK, pasangan Prabowo dan Gibran justru paling unggul. Mereka dipilih rakyat lebih banyak ketimbang Ganjar dan Mahfud, juga Anies – Muhaimin.
Survei yang dilakukan LSI juga memberitakan realitas yang sama. Bahwa setelah putusan MK, pasangan Prabowo dan Gibran justru paling tinggi. Pasangan ini mengungguli Ganjar – Mahfud apalagi Anies – Muhaimin.
LSI Denny JA melakukan survei paska putusan MK juga memotret kemenangan Prabowo – Gibran yang sama. Dalam survei LSI Denny JA, lebih jauh lagi tergambar tingkat kepuasan publik atas Jokowi.
Paska putusan MK, approval rating Jokowi, kepuasan publik padanya masih sangat tinggi di angka 76,7%. Apa arti semua data di atas?
Memang kesedihan dan kekecewaan Goenawan Muhammad itu layak menjadi renungan. Tapi pandangan seperti GM itu tidak meluas ke kalangan seperti wong cilik. Padahal untuk populasi Indonesia, wong cilik itu pemilih mayoritas.
Pandangan seperti Goenawan Mohamad hanya bergema di segmen kecil sebagian kaum terpelajar saja. Tak semua kalangan terpelajar satu pendapat. Di belakang masing masing pasangan capres – cawapres terdapat pula kaum terpelajar yang berbeda posisi.
Tapi bukankah presiden manapun tak bisa berpretensi ingin memuaskan semua segmen masyarakat dari wong gede hingga wong cilik?