Saya termasuk yang beberapa kali diajak diskusi dengan Jokowi. Pernah pula diskusi hanya empat mata saja. Majunya Gibran menjadi cawapres sama sekali bukan inisiatif Jokowi. Ini pasti!
Dipilihnya Gibran sebagai cawapres terutama justru karena pertimbangan elektoral. Bahwa Gibran dipilih karena memang ia paling potensial membawa kemenangan, seperti yang sudah ditunjukkan hasil survei.
Tentu saja kemenangan yang dimaksud adalah di momen ketika survei dilakukan. Apa yang akan terjadi di hari pencoblosan, 3 bulan dari sekarang (Feb 2024), tentu segala hal masih terbuka.
Dari kubu Prabowo sendiri, Gibran bukan pula satu- satunya cawapres yang dipertimbangkan. Ada saingan Gibran yang tak kalah hebat: Erick Tohir, Khofifah, Airlangga Hartarto.
Bahkan ketika putusan MK sudah memungkinkan Gibran bisa maju cawapres, masih belum pasti Gibran yang akhirnya dipilih oleh Prabowo dan koalisinya. Persaingan sangat alot bahkan sampai jam-jam terakhir.
Jika lebih banyak rakyat yang kecewa pada Jokowi, dan Gibran, seperti yang disuarakan oleh Goenawan Mohamad, hasil survei Prabowo – Gibran akan jeblok. Kenyataanya, Prabowo – Gibran justru paling unggul.
Hal yang jauh lebih mendasar adalah sikap kita kepada demokrasi, hak asasi dan konstitusi dalam menyikapi kasus Gibran sebagai calon wakil presiden.
Dalam demokrasi dan hak asasi, seorang warga tak boleh dilarang menjadi calon presiden (atau jabatan apapun yang dipilih lewat pemilu) semata hanya karena ia anak petani, ataupun semata ia anak presiden, atau semata karena ibu atau bapaknya sedang menjabat.
Hal lain yang juga fundamental: yang tak dilarang oleh konstitusi jangan dilarang oleh opini publik. Periksa saja konstitusi di aneka negara demokrasi di dunia. Tak ada larangan anak presiden mencalonkan diri sebagai calon presiden bertarung dalam pemilu ketika ayahnya masih menjadi presiden.
Jika tak dilarang oleh konstitusi mengapa pula harus dilarang oleh budayawan, pemikir, ahli hukum, dan lain sebagainya.