Oleh Gus Raharjo
Jika kamu merasa bahwa pemilu kali ini akan berjalan penuh kecurangan, peguasa melakukan segala cara dengan menyingkirkan seluruh etika dan moral, percayalah kamu tidak sendirian.
Ada jutaan orang lainnya yang menaruh kekawatiran yang sama. Mungkin mereka tak bersuara lantang, namun diam-diam telah menanamkan perlawanan di hati mereka sendiri, lalu tumbuh dan menjalar ke orang-orang sekitar.
Bagaimanapun Gibran adalah anak penguasa, dan itulah fakta yang tidak bisa diubah. Keterlibatan alat negara untuk mengerek elektabiltas pasangan Prabowo-Gibran, menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Artinya Pilpres kali ini bukan lagi pertarungan gagasan antar kandidat, melainkan penguasa melawan rakyat.
Hampir setiap hari kita disuguhi pemberitaan intimidasi serta ancaman. Kades-kades ditekan dan ditakut-takuti agar mendukung Prabaowo-Gibran.
Rekaman viral Forkopimda Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara, yang meminta para kades menggunakan dana desa untuk memenangkan Prabowo-Gibran, adalah bukti bahwa gerakan ini sangat masif dan terstruktur. Bayangkan, dana desa yang mestinya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, justru untuk biaya kampanye.
Jika kita mengamati secara runut laporan dari berbagai media, intimidasi semacam itu mula-mula hanya dilakukan terdahap para pengusaha. Mereka yang turut membantu kegiatan politik Anies maupun @ganjarpranowo, langsung dikuliti, dipanggil aparat untuk diperiksa.
Para pengusaha pun ketakutan. Cara itu memang dilakukan untuk melemahkan aktivitas kampanye mereka. Dengan begitu, langkah pasangan Prabowo-Gibran yang mendapat sokongan dari penguasa, bisa lebih ringan.
Tapi ternyata, penolakan masyarakat terhadap Prabowo-Gibran masih sangat besar. Pilpres satu putaran yang mereka targetkan, masih jauh dari harapan. Ini membuat penguasa geram, dan melakukan manuver yang lebih brutal lagi. Giliran kades-kades yang diintimidasi, lalu kepala daerah, dan sekarang menyasar influencer.
Pegiat media sosial, Palti Hutabarat, adalah salah satu korbannya. Ia ditangkap dan langsung diperiksa karena menggunggah rekaman suara di Batubara, sedangkan siapa orang di balik suara rekaman itu, tidak dilacak secara serius. Padahal kalau mau kepolisian bisa dengan mudah melakukannya lewat digital forensik.
Tak lain, penangkapan itu hanyalah upaya pembungkaman terhadap hak-hak rakyat. Tujuannya cuma satu menebar rasa takut di benak publik. Lantas, apakah cara-cara brutal semacam itu membuat publik kemudian sepakat untuk memilih Prabowo-Gibran? Jangan salah, masyarakat justru kian muak.