Pemungutan suara Pemilu 2024 yang diselenggarakan 14 Februari 2024 yang baru lalu mengonfirmasi bahwa pemerintahan Joko Widodo telah memobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan calon presiden Prabowo Subianto yang didampingi oleh anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Sejak awal Koalisi menilai bahwa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming adalah paslon yang bermasalah. Prabowo merupakan pelanggar HAM karena telah melakukan penculikan aktivis HAM pada 1997-1998 yang telah diakuinya dan membuatnya dicopot dari dinas kemiliteran oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 3 Agustus 1998.
Sedangkan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto nyata-nyata mengabaikan agenda reformasi 1998. Pencalonan Gibran sarat dengan praktik KKN, serta melanggar etika Konstitusi. Tidak ada kepentingan rakyat yang diwakilinya, karena kepentingan utamanya adalah untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan pribadi, keluarga, dan kroni-kroni Jokowi.
Gibran tidak layak menjadi Calon Wakil Presiden. Pencalonan Gibran dimulai dari pembajakan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pamannya, Anwar Usman, Ketua Majelis Hakim dalam persidangan MK saat itu. Putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) jelas menyatakan terjadi pelanggaran etik berat dalam Putusan 90/2023 yang membuka jalan pencawapresan Gibran.
Pencawapresan Gibran di KPU juga bermasalah karena seharusnya Pencawapresan itu ditolak oleh KPU karena tidak sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) sendiri. PKPU baru diubah kemudian setelah Pendaftaran Pasangan Capres-Cawapres 02 diterima.
Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan bahwa Ketua dan Komisioner KPU melanggar etik berat dan diberikan sanksi peringatan keras terakhir terhadap ketua KPU Hasyim Asy’ari karena telah meloloskan pencalonan Gibran.
Hal ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana kekuasaan Jokowi, keluarga dan kroni-kroninya benar-benar telah membajak lembaga negara, seperti MK dan KPU. Mereka tidak lagi memperdulikan etika, Konstitusi Negara, demokrasi, dan tata pemerintahan yang bersih dari KKN.
Selain melanggar etika, konstitusi, hukum, dan keadaban politik demokratis, Jokowi telah menyalahgunakan dan memobilisasi sumber daya negara, baik aparat, program, dan anggaran negara, bahkan otoritas yang dimilikinya untuk memenangkan Paslon 02.
Sejak sebelum Pemilu, Koalisi Masyarakat Sipil sudah menemukan bahwa kejahatan Pemilu (electoral evil) bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Jumlah kasus pelanggaran sejak penetapan Paslon pada 18 November 2023 hingga Masa Tenang terjadi lonjakan hampir 300 persen dibandingkan jumlah kasus pada periode pemantauan Mei-Oktober 2023.
Bahkan sehari sebelum Presiden mengeluarkan kebijakan ‘politik gentong babi’ dengan menaikkan tunjangan Bawaslu. Kebijakan tersebut patut dipersoalkan karena nyata-nyata merupakan upaya untuk “menaklukkan” Bawaslu.