Orang tua itu, katanya, sangat mungkin adalah ayah D.N Aidit — ia tak menceritakan apakah ia sempat bertegur sapa dengannya. Tapi dengan cara itu ia seakan ingin memberi konfirmasi bahwa tokoh besar PKI itu memang benar seorang keturunan Arab.
Sejak masih bersekolah hingga SMP di kampung halamannya di Parepare, kini bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan, ia meminati kesenian dan cukup mengikuti perkembangan dunia seni di ibukota. Pindah dan menyelesaikan SMA di Solo, ia kemudian belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia, lalu masuk Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan lulus sebagai sarjana Sosiologi di universitas yang sama.
Ia terlalu lama kuliah karena sangat banyak diselingi oleh kerja jurnalistik. Ia lulus dengan skripsi tentang perfilman Indonesia, suatu tema yang sangat jarang disentuh oleh dunia akademis, hingga sekarang, dan karena itu ia kemudian dikenal sebagai otoritas yang tepercaya untuk mengulas film-film Indonesia, selain pernah menjadi asisten sutradara.
Ia memperluas minatnya pada seni pertunjukan, dan banyak meresensi pentas-pentas drama, dan kemudian menerbitkan kumpulan tulisannya sebagai buku. Ditinjau dari standar tertentu, tulisan-tulisannya tak mudah untuk dinyatakan bermutu tinggi.
Tapi minat besarnya tak pernah ditinggalkannya: mencermati politik kiri. Ketika ia melanjutkan studi doktoral di Ohio State University, Amerika, ia lebih memusatkan perhatiannya pada sisi lawan si kiri, Angkatan Darat. Ia lulus dengan disertasi yang kuat, “Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49”, yang menyajikan sejarah dan analisis tentang asal muasal naiknya tentara dalam kancah politik Indonesia.
Dalam hal ini ia beruntung karena memiliki jalinan relasi luas di kalangan para pelaku sejarah beserta para junior mereka di Angkatan Darat. Ia tak mengalami kesulitan dalam mengakses para narasumber penting, tidak seperti kebanyakan mahasiswa doktoral yang sedang menulis disertasi.
Pulang ke Indonesia dengan gelar Ph.D dalam ilmu politik, ia tak berminat pada pekerjaan lain. Ia ingin kembali ke dunia jurnalistik. “Bagaimanapun bagi saya yang penting tulisan-tulisan saya dibaca oleh kalangan luas,” katanya. Dan itu baginya hanya bisa dicapai melalui karya jurnalistik, bukan aktifitas akademis di balik tembok kampus.
Tapi ia dibentur kekecewaan yang tak pernah ia duga. Di kantor yang lama ditinggalkannya, majalah TEMPO, rupanya terjadi restrukturisasi manajemen dan personalia. Ia hampir tak percaya pada apa yang diberikan perusahaan sebagai “hadiah” kepada dirinya, seorang wartawan bergelar doktor ilmu politik yang menjadi bagian dari generasi pendiri majalah mingguan terkemuka itu: ditempatkan sebagai reporter, posisi terendah dalam kewartawanan.
Sesudah macam-macam argumen dan permintaan pertimbangan yang diajukannya kepada manajemen sia-sia, ia berhenti dari Tempo dan menjual semua saham kecilnya untuk bekal menapaki jalan baru di luar jalur jurnalistik.