Oleh Farid Gaban
Pekan ini terbetik kabar tentang bagaimana aparat Densus 88 memata-matai dan menteror jaksa yang sedang memeriksa kasus korupsi besar.
Jika benar, itu mencerminkan tak hanya kerusakan besar di lingkungan detasemen anti-teror tapi juga di tubuh kepolisian secara keseluruhan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kerusakan sistemik kepolisian telah terbuka secara telanjang meski sporadis, seperti misalnya dalam Kasus Ferdy Sambo atau Teddy Minahasa. Atau dalam inkompetensi menangangi kisruh sepakbola di Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang.
Jika di tingkat bawah banyak orang mendengar bagaimana aparat keamanan menjadi centeng kios dan toko (dengan imbalan tertentu), di tingkat atas aparat membela konglomerat.
Tapi kerusakan sistemik itu selama 20 tahun terakhir ditutupi oleh reputasi baik polisi dalam menangani “terorisme”.
Dalam dua dekade terakhir, pamor polisi Indonesia moncer karena operasi-operasi anti-teror yg jarang dipertanyakan, meski ada banyak kejanggalan.
Detasemen Khusus (Densus) 88 dibentuk menyusul Tragedi Bom Bali yang merupakan ikutan dari Tragedi 911 di Amerika Serikat. Bersama AS dan sekutunya, Indonesia menabuh genderang “war on terror”.
Operasi “war on terror” di Indonesia adalah operasi sejenis terlama di dunia, bahkan setelah orang Amerika sendiri, tempat bermula istilah ini, melupakannya.
Kita cenderung percaya saja cerita polisi tentang skenario teror; bahkan tak jarang kita ikut mengelu-elukan kekerasan/pembunuhan oleh polisi asal itu tidak menimpa diri kita.
Tanpa sadar, kita sebenarnya telah membantu polisi menyalahgunakan kekuasaannya dalam skala yang luas, masif dan tidak masuk akal seperti sekarang ini.
Memberi blanko kosong kepada polisi dan intel punya konsekuensi luas bagi demokrasi kita dan bagi civil society keseluruhan (tak hanya bagi umat Islam yang selalu dijadikan sasaran kecurigaan).