Kamis, September 19, 2024

Densus (Anti) Teroris?

Must read

Pada 2003, Human Rights Watch membuat laporan yang menyimpulkan bahwa “war on terror” dimanfaatkan oleh para despot dan diktator sebagai dalih untuk mempersempit kebebasan sipil, memberangus oposisi dan meredam protes.

Lewat “perang melawan teror”, kekuasaan polisi dan aparat intel makin kuat. Tak hanya anggaran makin besar, tapi juga kekuasaannya, yang jarang dipertanyakan.

Kita tidak peka lagi terhadap standar normal kehidupan bernegara. Kita cenderung membiarkan polisi melenggang begitu saja meski telah membunuh 100 lebih terduga teroris tanpa proses hukum (extra-judicial killing).

Kita tidak peka lagi ketika kekuasaan polisi/intel dipakai untuk memberangus demonstrasi damai.

Kita menutup mata bahwa polisi menangkap 5.000 demonstran dalam dua gelombang besar demonstrasi: anti-korupsi dan anti-Omnibus Law dua tahun terakhir.

Kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan cenderung mengarah pada pendekatan keamanan dan negara-polisi (police state). Memberi impunitas kepada aparat dan mendorong satu warga memata-matai warga lain.

Dan itu tak hanya merugikan aktivisme Islam. Kekuasaan polisi dan aparat intel dipakai juga untuk meredam demonstrasi tanpa motif agama, aspirasi politik lokal seperti Papua, aktivisme sosial melawan penggusuran dan aktivis pembela lingkungan.

Lebih segalanya, blanko kosong kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan memperkuat posisi kaum oligark, melindungi perselingkuhan politisi dan bisnis yang makin korup dan menindas.*

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article