Rabu, November 20, 2024

Bawaslu Jangan Menjadi Macam Ompong!

Must read

Pakar dan praktisi hukum Dr T.M. Luthfi Yazid SH LLM menilai perselisihan hukum akibat penyelenggaraan Pemilu 2024 masih saja terjadi di tingkat nasional maupun daerah. “Hal ini menunjukkan sistem hukum nasional yang seharusnya menjaga dan memberikan kepastian hukum masih lemah,” kata Luthfi kepada awak pers, Selasa (4/6/2024).

Dampaknya, kinerja institusi hukum nasional tidak optimal bahkan terkesan serampangan dalam melayani kebutuhan hukum masyarakat. Buktinya fenomena tersebut terjadi pada sejumlah institusi hukum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang mendapat banyak kritik pedas selama dan sesudah proses Pemilu 2024.  

Luthfi lantas menunjukkan kasus hukum Pemilu Presiden 2024. Terkait hal ini, Luthfi turut menjadi tim hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). “Penyelesaian sengketa Pilpres di MK, misalnya, kok cuma 14 hari. Bagaimana menciptakan putusan yang adil? Bagaimana pembuktian dan pemeriksaan saksi bisa mendalam?” Tapi untungnya, lanjut Luthfi, “Masih ada dissenting opinion dari tiga hakim MK yang tak pernah terjadi dalam sejarah.”  

Bawaslu Jateng Dinilai Tidak transparan

Kecurangan Pemilu juga terjadi di daerah. Banyak calon legislatif (caleg) yang mengaku telah mendapatkan bukti terjadi kecurangan suara di TPS Dapil-nya. Salah satunya adalah Caleg Partai Gerindra, M.B. Setiadharma. 

Sebagai informasi, pada 5 April 2024, Setiadharma mengajukan surat telah terjadi dugaan tindak pidana pelanggaran Pemilu berupa hilangnya perolehan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Dapil 4 Jawa Tengah. Yakni di TPS Sambungmacan di Kabupaten Sragen dan TPS Baturetno di Kabupaten Wonogiri dengan lampiran berkas bukti-bukti temuan. 

Kemudian pada 16 Mei 2024, Bawaslu Jateng menyampaikan surat pemberitahuan kepada Setiadharma bahwa “laporan yang diberikan tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran Pemilu”. “Laporan saya dan fakta-fakta telah terjadi pelanggaran Pemilu tiba-tiba dihentikan dengan alasan tidak memenuhi unsur pelanggaran,” kata Setiadharma. 

Kader Gerindra tersebut, dalam surat yang ditujukan ke Bawaslu tertanggal 27 Mei 2024, mempertanyakan tindakan Bawaslu Jateng yang tidak transparan. Selain itu tindakan penghentian laporan juga terasa janggal. “Surat dari Bawaslu Jateng itu pada pokoknya hanya memuat status dihentikan, tetapi tidak memuat alasan dan pertimbangan hukum atas dasar apa laporan saya dihentikan,” katanya. 

Bawaslu Jateng merupakan instrumen negara yang seharusnya mengikuti prosedur hukum dan menjalankan tata pemerintahan yang baik. Bagaimana mungkin, lanjut Setiadharma, Bawaslu Jateng menyatakan suatu keputusan tanpa memberi keterangan faktual (temuan bukti) dan normatif (aturan) yang mendasari keputusan tersebut. “Ini menunjukkan dengan nyata keputusan Bawaslu Jateng sewenang-wenang, suatu keputusan yang tanpa dasar sama sekali,” katanya. 

Setiadharma melanjutkan, Bawaslu Jateng telah nyata-nyata tidak transparan dalam memeriksa, mengkaji dan memutuskan laporan. “Saya selaku Pelapor heran bagaimana mungkin Bawaslu Jateng atau Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah serta Penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Penegakan Hukum Terpadu “Gakkumdu”) tanpa pertimbangan yang seksama dan demi hukum serta keadilan dapat membuat kesimpulan bahwa tidak ada Pelanggaran Pemilu sebagaimana saya ajukan dalam laporan?”

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article