Jumat, September 20, 2024

Koreografi Kekuasaan

Must read

Oleh Made Supriatma

Sodara tentu masih ingat ketika dia berkata semuanya belum siap. Listriknya apa sudah siap? Airnya apa sudah siap? Begitu dia bertanya ketika itu.

Dia tahu bahwa proyek ambisiusnya, yakni memindahkan ibukota negara dalam waktu singkat, tidak akan berhasil. Dia sudah memecat kepala dan wakil otoritanya.

Dia menyuruh orang kepercayaannya menanganinya. Dalam arti, menangani untuk mempertontonkan apa yang bisa dipertontonkan. Paling tidak tontonan yang pas masuk di layar hape dan TV serta foto-foto di koran.

Kemudian dia sadar bahwa dia tidak memproyeksikan kegagalan. Tidak, dia tidak boleh terlihat gagal. Namun, sukses jelas tidak akan tercapai. Tidak akan mungkin proyek ini akan jadi hanya dalam waktu 90 hari. Itu “hil yang mustahal”, kata almarhum Asmuni, pelawak Srimulat.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Saya hapal betul caranya berkuasa selama hampir 10 tahun terakhir. Ketika dihadapkan pada kesulitan, dia biasa mempertontonkan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian. Dia seolah sadar bahwa dalam dunia politik modern yang dibutuhkan adalah perhatian.

Politik perhatian. Yakni, bagaimana orang tidak fokus pada kekurangan atau kelemahan. Namun bukan berarti kekurangan atau kelemahan itu harus dieliminasi. Kalau bisa bagaimana menjadi kekurangan itu sebagai kelebihan. Bagaimana membuat kelemahan menjadi kekuatan. Dalam hal ini, harus diakui, dialah kampiunnya.

Misalnya, ketika di awal-awal kekuasaannya, dia tidak memiliki potongan untuk menjadi presiden. Dia kurus dengan penampilan ndeso. Ada yang mengejeknya, plonga-plongo. Orang mengejeknya kiri kanan. Tanggapannya adalah “Aku rapopo!”

Ia menelan ejekan-ejekan itu dan kemudian memuntahkannya balik kepada pengkritiknya. Para pendukungnya menjadi kagum dan terharu biru. Kalangan rakyat bawah kemudian merasa ‘terwakili’ karena toh ada orang yang plonga-plongo mewakili dirinya.

Banyak orang tidak mengerti bahwa itulah inti dari populisme. Yakni memainkan perasaan dengan pura-pura menjadi lemah seperti rakyat kecil, tidak elitis, tidak kelihatan terlalu pintar, dan menimbulkan belas kasihan. Itulah yang membuat pendukungnya menjadikannya ‘kultus’ dan dari sana juga dia yakin bahwa ia tidak akan terkalahkan.

Seringkali dia melawan kekuatan dengan mengeksploitasi yang lemah. Dalam krisis-krisis, dia muncul bermain dengan cucunya yang lucu. Untuknya, tidak ada batas dalam politik. Bahkan anggota keluarga yang imut pun bisa menjadi pion kekuasaan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article