“Tidak ada bisnis yang benar-benar menguntungkan jika ongkos lingkungan dan sosial diperhitungkan,” kata EF Schumacher dalam buku Small is Beautiful.
Jika banyak pengusaha sekarang bisa kaya-raya lewat tambang batubara, itu karena ongkos kerusakan alam dan kerusakan sosial akibat bisnis tambangnya tidak benar-benar diperhitungkan.
Di ranah sosial, memang ada perusahaan yang memberikan dana CSR untuk operasi bibir sumbing dan sunatan massal, misalnya, atau membangun masjid.
Tapi, itu tak sebanding dengan kerugian yang masyarakat derita: hilangnya penghidupan akibat polusi dan pencemaran; banjir dan longsor akibat praktik tambang yang merusak hutan; serta konflik yang menghantui mereka, konflik dengan sesama sendiri maupun dengan perusahaan-perusahaan yang menjadikan polisi bersenjata (kadang tentara) sebagai centeng mereka.
Saya telah melakukan dua kali perjalanan keliling Indonesia bersepeda motor pada 2010 dan 2023, masing-masing selama setahun.
Saya menyaksikan sendiri kerusakan alam dan sosial itu di berbagai tempat, tak hanya dalam sektor batubara, tapi juga tambang-tambang lain.
Bapak dan ibu sekalian,
Hutan Kalimantan dulu dibanggakan sebagai paru-paru dunia atau “Amazon”-nya Indonesia. Dia adalah bukti paling kuat dari status MegaDiversity bagi Indonesia, negeri dengan keragaman hayati (biodiversitas) terkaya di dunia.
Tapi, hutan itu kini telah jauh menyusut dan rusak berat akibat eksploitasi tambang, industri kayu dan kebun sawit monokultur.
Dalam beberapa tahun terakhir, seluruh provinsi di Kalimantan mengalami banjir hebat, selama berminggu-minggu, ketika curah hujan tinggi.
Di Kalimantan Selatan saja, tempat Muhammadiyah kemungkinan besar akan mendapat hadiah izin tambang, seluruh kabupaten digenangi banjir hebat pada 2021: merendam 17.000 rumah dan membuat 120.000 orang harus mengungsi. Itu banjir terbesar dalam 50 tahun terakhir.