Kaum perempuan adalah mereka yang menanggung kerusakan alam dan sosial akibat tambang.
Muhammadiyah sudah terlambat bisa mengoreksi kerusakan tambang di atas lewat aspek teknis. Tapi, Muhammadiyah bisa bisa mengoreksi secara paradigmatis. Dan di situ Muhammadiyah sebenarnya bisa punya peran besar.
Berbagai kerusakan tadi terjadi karena masalah struktural yang bertumpu pada regulasi pemerintah, terutama UU Minerba dan UU Cipta Kerja, yang cenderung mengabaikan isu kelestarian alam dan keadilan sosial.
UU Minerba, misalnya, tidak berkeadilan. Bahkan Muhammadiyah sendiri dulu pernah menolaknya. Setelah kontrak karya habis, perusahaan tambang seharusnya benar-benar berhenti beroperasi dan konsesinya dikembalikan ke pemerintah.
Tapi, kini malah diberikan perpanjangan tanpa lelang, dan tanpa evaluasi menyeluruh yang menekankan pada kelestarian alam, pemerataan dan meminimalkan dampak sosial.
Dengan menerima hadiah pemerintah, Muhmmadiyah justru sedang menjustifikasi konsentrasi penguasaan tambang oleh segelintir orang, serta mengabaikan kerusakan alam dan sosial yang menyertainya.
Menurut saya, dalam soal tambang, Muhammadiyah seharusnya melakukan hal-hal ini:
- Mendesak pemerintah melakukan moratorium tambang (taruhlah 5-10 tahun).
- Mengevaluasi secara mendalam UU Cipta Kerja dan Minerba.
- Mendesak pemerintah mengkaji serius, komprehensif dan mendalam dampak seluruh tambang yang ada sekarang terhadap alam maupun manusia.
- Mendesak pemerintah merumuskan regulasi pengelolaan tambang yang benar-benar berkeadilan dan menekankan kemandirian bangsa.
- Mendesak pemerintah mencari alternatif ekonomi di luar tambang, menemukan keseimbangan antara membangkitkan ekonomi dengan pelestarian alam, termasuk mencari sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan keragaman hayati kita.
Jika itu dilakukan, tak hanya membuat saya tetap bangga, saya yakin Muhammadiyah akan menjadi motor dan inspirator yang sangat keren dalam upaya menuju Indonesia lebih baik di masa depan.