Kelas Bawah dengan Kesibukan Beragama, Kelas Atas dengan Kesibukan Bisnis dan Politik
Baru saja Romo Wachyo diperiksa KPK terkait hubungannya sebagai Komisaris Utama perusahaan pertambangan emas di Halmahera. Seterusnya saya nggak minat menggali persoalannya terkait hukum, maupun kaitannya dengan Mantan Gubernur Maluku Utara dari PKS yang kini didera perkara korupsi yang meyerempet perkara dengan puluhan perempuan cantik.
Romo Wachyo saya tahu riwayatnya terkait dengan statusnya sebagai anak angkat Gus Dur yang dikirimkan Gus Dur untuk berkomunikasi dan bernegosiasi kepada elit-elit Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tahu-tahu rupanya sekarang sudah menjadi pemain utama bisnis tambang emas dan memiliki saham di Petrosea, tambang batu bara.
Ketika saya telusuri lebih jauh, bermunculan aneka nama-nama besar sebagai komisaris mulai dari Sutanto, mantan Kapolri, Ilham Habibie, anaknya Ciputra hingga Ginanjar Kartasasmita, di perusahaan yang terkait dengan Romo Wachyo.
Gambaran di atas merupakan kesibukan dari kelas atas, antara politik, bisnis, investasi dan kadang-kadang harus berurusan dengan hukum, baik karena terseret kasus korupsi jejaring mereka maupun konflik kepemilikan yang mesti melibatkan pengadilan.
Adapun kelas bawah, habis waktunya dari pagi hingga sore mencari makan, sisanya sibuk menjalani ritual agama, mulai dari shalat Maghrib di mesjid, tahlilan, shalawatan, maulud, tabligh akbar yang kadang-kadang berisi dongeng yang tak terverifikasi tapi menghibur hati si kelas bawah, hingga maki-maki pemerintah dan orang-orang penguasa yang dirasa si kelas bawah merupakan pelampiasan tekanan batin yang terwakili oleh penceramah.
Demikianlah kelas bawah ini, terpenjara hidupnya dari dunia nyari makan dan dunia beragama yang serba artifisial dan tak menentu. Adapun kelas yang di atas sibuk menimbun kekayaan, menikmati kemakmuran dan memperkuat jalinan tali kekang kekuasaan. Dua kelas ini bagaikan surga dan neraka, tidak bertemu wujud, tapi bisa saling berhadapan.
Suatu waktu di tahun 2012, ketika saya Pemred EkonomiKa, mewawancarai Adi Sasono, seorang intelektual aktivis yang menurutku sangat berwibawa untuk memberi jawaban analitis terkait monopoli ekonomi oleh minoritas etnis Cina di Indonesia. Saya ingin bertanya kepada Adi Sasono, mengapa etnis Cina begitu kuat dan terkesan memonopoli aneka bisnis yang melahirkan konglomerasi di Indonesia. Beliau tentu orang yang paling tepat memberi penjelasan tentang pertanyaan klasik ini.
Rupanya saya salah pandangan dengan menganggap beliau anti konglomerat yang didominasi oleh etnis Cina. Dia bilang, sekarang (2012) pribumi sudah sangat jago-jago dalam berbisnis. Singkatnya, pandangan lama yang sinis terhadap etnik Cina karena kemajuan mereka yang memonopoli aneka bisnis di Indonesia sudah tidak relevan.
Itu wawancara saya terjadi pada 2012 di kantornya, Gedung Arthaloka, Sudirman. Lama saya pikirkan keterangan-keterangan dia yang saya tidak duga itu. Seiring waktu saya terus perdalami bagaimana hubungan bisnis antara pribumi dan Cina di Indonesia.