“Kami datang ke sini, karena kami dianggap tolol!” teriak komika Abdur di tengah riuh demonstran yang mengepung gedung DPR.
Siapa yang tolol? Komika? Bukan. Abdur mewakili suara sebagian rakyat, saya tidak mengklaim sebagian besar, karena belum saya hitung. Tapi setidaknya saya terwakili. Kalau anda dianggap tolol bagaimana? Senyum? Senyum kecut? Atau marah?
Dulu MK membuat keputusan nomor 90 tahun 2023. Tak ada setahun kemudian, MK membuat keputusan nomor 60 tahun 2024 –setelah beberapa waktu sebelum MA mengeluarkan keputusan soal batas usia calon pemimpin daerah. Dan sehari kemudian, setelah keputusan MK terbaru itu, Baleg DPR hendak menganulir lewat RUU Pilkada.
Ini negara apa? Kalau kemudian muncul Peringatan Darurat, kalau pintu DPR dijebol para demonstran, jangan melihat itu sebagian sesuatu yang berdiri sendiri. Kita mesti melihat dalam konteks, hukum sebab-akibat, aksi-reaksi, atau bahasa canggihnya harus dilihat secara lebih dialektis. Pasti ada sebab-sebabnya yang kemudian memunculkan akibat.
Manifestasi akibat itu menjadi sebab baru, dan seterusnya. Sebagian rakyat, saya tidak mengklaim semua, karena dari postingan di medsos kita bisa melihat, ada yang mosting ‘Peringatan Darurat’, tapi ada yang bereaksi memosting ‘Indonesia Baik-baik Saja’. Dari berbagai postingan dan komentarnya, saya bisa tahu, orientasi dan nalar politiknya. Juga kepentingannya.
Kalau ada orang pinter nulis: Kenapa tidak konsisten, soal putusan MK dulu ditolak, kini penolaknya mendukung mati-matian putusan MK? Putusan yang mana? Postingan yang bertujuan mereduksi, atau membully itu, nalarnya keblinger. Memakai teks yang dilepaskan dari konteks.
Karena pertanyaannya juga bisa dibalik, kenapa keputusan MK yang menguntungkan Gibran didiamkan saja? Tapi mengapa pula keputusan MK yang merugikan Kaesang ditentang, mau dianulir? Bahkan Mr. Q., sebagai salah satu operator politik (bukan konsultan lagi), meminta MK dibubarkan?
Itu soal positioning. Itu soal sudut pandang. Dan pastilah di situ, soal kepentingan sing-masing. Seberapapun kepentingannya. Yang kepentingannya adalah mementingkan keluarganya, biaya sekolah, nyari nafkah susah (maka ngapain ikut demo yang diluar kapasitas, negara sudah ada yang ngurusi, dll), itu soal domestik yang semua orang punya.
Secara filosofis, kalau soal domestik itu disatukan, akan berujung kepada Negara. Jadi pro-kontra dalam permasalahan politik adalah soal gradasi doang. Karena kapasitas otak, sensibilitas dan sensitivitasnya berbeda-beda. Bisa beda warna, bisa beda tingkat. Di sini kita akan bicara soal sikap, pilihan, keberpihakan.
Saya sederhanakan; Ketika melihat Raffi Ahmad bersama Gibran blusukan ke UMKM di Jawa Barat, dan membandingkan Reza Rahadian –juga Abdur, Arie Keriting, Bintang Emon dan para komika lain yang ikut mendatangi gedung DPR, untuk berdemo menolak RUU Pilkada, saya lebih memilih Reza Rahadian cum suis. Sesimpel itu saja.