Oleh Ndoro Kakung
Jokowi adalah kita. A new hope, kata media. Demikian puja-puji yang pernah keluar dari jutaan manusia, baik di dalam maupun mancanegara.
Ketika Joko Widodo (Jokowi) pertama kali menjabat sebagai presiden pada 2014, ia hadir dengan citra kesederhanaan, ketulusan, dan semangat reformasi yang diharapkan mampu membawa perubahan signifikan bagi Indonesia.
Bagi banyak warga, terutama kalangan bawah dan menengah, Jokowi adalah representasi dari harapan akan pemerintahan yang lebih merakyat.
“Ekspektasi orang-orang sangat tinggi. Itu berbahaya buat saya, jika saya tidak bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan, apa yang saya janjikan,” kata Jokowi kepada wartawan TIME saat itu.
Kemenangan Jokowi menandai perubahan penting dalam sejarah politik Indonesia, di mana seorang tokoh yang dianggap “orang biasa” mampu menduduki kursi kekuasaan tertinggi.
Seiring berjalannya waktu dan kebijakan-kebijakan yang diambil selama masa pemerintahannya, beberapa warga yang dulu mendukungnya kini merasa kecewa dan bahkan membenci Jokowi setelah ia purnatugas.
Perubahan sikap masyarakat ini menjadi fenomena menarik untuk dianalisis, khususnya dalam konteks bagaimana harapan dan realitas politik berbenturan.
Apa yang menyebabkan perubahan drastis dalam persepsi masyarakat terhadap seorang presiden yang dulu disambut sebagai pahlawan rakyat? Apakah ini sekadar masalah kebijakan yang kontroversial, atau ada dinamika psikologis yang lebih dalam di balik fenomena ini?
Awal Kepemimpinan: Harapan yang Tinggi
Pada awal kepemimpinan Jokowi, banyak warga yang menaruh harapan besar padanya. Sebagai figur yang muncul dari kalangan bukan elite politik, Jokowi dilihat sebagai sosok “bersih” yang dapat memutus rantai kekuasaan yang selama ini didominasi oleh dinasti politik dan pengaruh oligarki.