Menurut Yance, Bawaslu tidak mempunyai kewenangan untuk masuk terlalu jauh dalam menindak pelanggaran administrasi dan pidana pemilu yang dilakukan aparatur sipil negara, pejabat pemerintah, ataupun prajurit TNI-Polri. Ia mencontohkan ketika Bawaslu menangani dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara.
Setelah mengusutnya dan ASN itu dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran administrasi, Bawaslu hanya dapat meneruskannya ke Badan Kepegawaian Negara, sebelumnya ke Komisi Aparatur Sipil Negara—sebelum lembaga ini dibubarkan tahun lalu.
“Kewenangan Bawaslu hanya sampai pada menelaah dan mengkaji laporan pelanggaran yang masuk serta meneruskannya ke lembaga induk dalam hal pelanggaran administrasi dan Gakkumdu dalam pelanggaran pidana,” ucap Yance.
Ia menyarankan pemerintah membentuk lembaga independen yang bertugas dan berfungsi menangani pelanggaran administrasi serta pidana pemilu. Dengan demikian, setiap dugaan pelanggaran ASN, pejabat pemerintah, dan prajurit TNI-Polri tidak lagi melibatkan lembaga induknya. “Lembaga ini tentu akan lebih fleksibel dan akuntabel menangani pelanggaran, baik segi administrasi maupun pidana.”
Kamis pekan lalu, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi Pasal 188 Undang-Undang Pilkada. Dalam putusan perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024 itu, Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” pada Pasal 188.
Awalnya, Pasal 188 ini berbunyi “setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta”.
Selanjutnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi, Pasal 188 berubah menjadi “setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta”.
Adapun Pasal 71 mengatur bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.
Sebelum putusan MK ini, sudah terendus dugaan cawe-cawe anggota kepolisian di sejumlah daerah untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Pada umumnya mereka diduga berusaha memenangkan pasangan calon kepala daerah yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju—koalisi pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024.
Peneliti dari Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, mendorong Bawaslu menguatkan posisinya di Gakkumdu. Penguatan posisi tersebut sangat penting bagi Bawaslu untuk mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. “Karena tantangan bagi Bawaslu begitu besar, yaitu harus menghadapi kejaksaan dan kepolisian,” kata Usep, Senin, 18 November 2024.