“Seni bukan hanya cermin realitas, tetapi juga cahaya yang mengubahnya.”
Denny JA mengaku kutipan Bertold Brech ini ikut menambah keyakinannya untuk menghibahkan dana abadi bagi sebuah kegiatan seni: Festival Tahunan Puisi Esai.
Dengan dana abadi itu, Festival Puisi Esai dapat berlangsung hingga 50 tahun mendatang, dan seterusnya.
Ujar Denny, sastra adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, penelitian menunjukkan bahwa membaca sastra meningkatkan empati. Para pembaca sastra cenderung lebih memahami penderitaan orang lain, lebih peka terhadap keragaman identitas, dan lebih peduli terhadap ketidakadilan.
Namun, di sisi lain, komunitas sastra jangka panjang tidak dapat hidup dari hukum pasar saja. Seni membutuhkan subsidi; sastra membutuhkan uluran tangan yang memastikan panggungnya tetap ada.
Denny terinspirasi oleh contoh sejarah. Andrew Carnegie, dengan visi mencerdaskan masyarakat, mendirikan ribuan perpustakaan. Hingga kini, perpustakaan itu menjadi tempat belajar lintas generasi.
Alfred Nobel, dengan warisan dana abadinya, mendanai penghargaan sastra, di samping penghargaan lain. Ini memberi pengakuan tertinggi bagi para penulis dunia dan para kreator lainnya.
Ruth Lilly, melalui The Poetry Foundation, menyelamatkan puisi dari pinggiran dunia modern dengan dukungan dana besar dalam sejarah puisi.
Mereka adalah bukti bahwa seni membutuhkan tangan-tangan dermawan yang mengerti bahwa kebudayaan adalah harta abadi umat manusia.
Apa yang membuat puisi esai perlu terus dihidupkan, disebarkan, dan dirawat? Ujar Denny, puisi esai adalah genre yang menyampaikan kisah nyata dalam bentuk puisi.
Isu hak asasi manusia, ketidakadilan, marginalisasi, dan identitas sosial menjadi inti setiap puisi esai. Namun, puisi esai tidak berhenti pada metafora; ia mencatat fakta melalui catatan kaki, menghubungkan estetika dengan realitas.