Ekpresi muka terlihat rileks, gerakan tangannya lentur, luwes mengalir. Berhenti sejenak membuka sebuah majalah bekas, menyobek sebagian kecil halamannya dan menempelkan di atas kertas bidang yang sedang dikerjakan.
Setelah tertempel, lalu mengangkat kertas itu seperti gerakan menerawang untuk mengecek hasilnya. Meletakannya kembali, mengambil kuas, menyelupkannya pada adonan cat acrylic dilanjut menguaskan pada kertas yang sudah tertempel potongan majalah tadi.
Mengangkat kembali kertas itu untuk kembali mengecek hasilnya, apakah komposisinya sudah sesuai dengan hati atau apakah aliran rasanya sudah mengalir? Begitulah aktivitasnya akan terus berulang. Sampai kapan? Tidak seorangpun pelukis abstrak mampu dengan tepat memprediksi.
Itulah tahapan dalam melukis abstrak yang paling sulit. Tahapan di mana setelah melalui beberapa kali pertimbangan rasa, tiba saatnya untuk memutuskan guna menyudahi pekerjaannya. Salah mengambil keputusan bisa membawa pada jalan buntu. Yang berarti harus mengulang pekerjaan lagi dari awal.
Veteran arsitek itu bernama Jeroen Tan Markaban. Usia 70 tahun.
Pernah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Soegiyapranata Semarang.
Jakarta, 30 November 2024
Malam. Pada sebuah acara pembukaan pameran lukisan di sebuah galeri yang terletak di sebelah kiri gedung Sarinah di jalan Thamrin Jakarta-gedung yang tercatat sebagai gedung yang pertama kali menggunakan teknologi tangga berjalan-eskalator. Merupakan sebuah kawasan yang kagak ade matinye, selalu ramai oleh pengunjung.
Sementara sebelah kanan gedung berderet parai penjaja kuliner dan selalu dipenuhi asap yang keluar dari tempat pembakaran sate.
Atas prakarsa Hendro Wiyanto, dari tanggal 1-17 Desember 2024, Galeri Rubanah –Underground Hub memajang kembali lima lukisan Bambang Bujono karya 1971 bersama puluhan lukisan Jeroen Tan Markaban yang diselesaikan dari tahun 2017-2024. Mempertemukan dua karya dari dua periode waktu pembuatan karya yang berbeda, telah terentang jarak waktu cukup lama yakni 50 tahun.
Di salah satu sudut ruang galeri itu saya sempet berhenti dan tertegun agak lama. Di depan beberapa karya disusun secara acak, tidak berpedoman pada standar baku yakni dengan mengambil patokan rata atas atau rata bawah agar terlihat rapi.
Di mana ada satu lukisan karya Bambu Bujono diletakkan di tengah, dikelilingi oleh lukisan-lukisan Jeroen Tan Markaban dengan berbagai variasi ukuran. Menjadikan pajangan itu terlihat seperti ada pergerakan, dinamis, tidak statis. Sebuah cara mendisplai karya yang unik sekaligus cerdik.
Tanpa memperdulikan bentuk visualnya yang berbeda, antara lukisan Bambang Bujono yang abstrak geometris dan lukisan Jeroen Tan Markaban yang abstrak ekspresionis. Juga tidak terlihat perbedaan tampilan fisik yang berarti dalam arti yang mengganggu atau sebuah timpang antara lukisan garapan 1971 yang dikerjakan anak muda dan lukisan garapan 2017 – 2023 hasil karsa orang tua?
Lukisan Bambang Bujono yang relatif “ tenang” itu, di kelilingi oleh beberapa lukisan ekspresif yang terkesan seperti “gelisah”. Membawa saya pada sebuah suasana batin-kontemplasi. Lukisan-lukisan itu terasa sedang akrab berdialog, sepertinya mereka saling cocok dan klop seperti sedang membahas sesuatu.