Entah apa yang sedang dibahasnya, barangkali bisa mengenai sebuah kenangan dimasa lalu, atau barangkali tentang kekwatiran masa kini atau sebuah pembicaraan mengenai masa depan yang tidak pasti? Entahlah.
Dari moment estetik itu, saya pun menduga; barangkali hal ini bisa terjadi karena karya-karya itu, masing-masingnya berangkat dan berproses dari hasil olah pikiran dan olah rasa yang dalam, hasil dari kerja yang tidak main-main?
Rasa penasaran itu, membawa saya membuka catatan dan menemukan sebuah kutipan, dari tulisan lama Bambang Bujono mengenai sebuah dialog yang memungkinkan terjadi. Dimuat surat kabar Kompas, 13 Januari 1971. Ditulis di tahun yang sama ketika Bambang Bujono menyelesaikan lukisan abstraknya.
“…Maka perkembangan seni abstrak relatif tidak akan mencapai titik akhir. Kita masih akan memasuki barangkali beribu tahun lagi seni lukis yang nonrepresentasional, kata Adolph Gottlieb kepada Selden Rodman dalam Conversations with Artist. Sebuah dialog dengan sebuah lukisan sesungguhnya merupakan kontemplasi. Dan apabila itu lukisan abstrak, kontemplasi sepenuhnya terjadi tanpa pamrih.“
Apabila Arief Budiman menulis di Kompas (2 Juni 1969), bahwa masyarakat sekarang lebih memerlukan manusia-manusia kreatif, maka sumbangan seni abstrak sebenarnya sungguhlah mutlak. Suatu kontemplasi tanpa pamrih dari lukisan abstrak dimungkinkan karena abstrak menolak unsur-unsur imatasi,sungguh-sungguh merangsang seseorang untuk berani bertindak kreatif.”
Bagi saya, kutipan di atas masih relevan dengan kondisi saat ini.
Dengan begitu langkah Hendro Wiyanto membawa Duo Exhibition, Tidak berarti tidak di Galeri Rubanah juga relevan, terasa pas dan tepat. Hendro Wiyanto telah membawa sebuah momen estetika: Pemantik bagi munculnya dialog yang mampu meninggalkan rasa superioritas pribadi, golongan dan institusi. Dialog Hati. Semoga.
Bogor, 5 Desember 2024