Hal serupa diberlakukan di area Sungai Subayang. Sungai tersebut diberi pembatas jaring yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Aturan ini diterapkan untuk menjaga ikan kecil, sehingga mereka bisa terus bertumbuh. Saat panen raya, kepala kampung akan membuka larangan tersebut dengan upacara adat, dan masyarakat boleh mengambil hasil sungai.
Menariknya, Suku Moi juga mempunyai aturan serupa. Namanya egek. “Tradisi egek membatasi akses masyarakat untuk masuk kawasan hutan. Di dalam hutan terdapat sejumlah situs bersejarah dan pohon keramat. Untuk ekowisata, jalurnya dibuat di luar jalur-jalur egek. Egek di hutan akan dibuka saat waktunya tiba. Ketika itu, masyarakat boleh memanen hasil hutan,” kata Rifqy.
Egek juga diterapkan di laut. Para kepala kampung menentukan satu kawasan khusus di laut yang tidak boleh diakses oleh masyarakat. Selama egek diberlakukan, ada tiga hasil laut yang tidak boleh diambil, yaitu lobster, lola (kerang laut), dan teripang. Hasil laut lain, seperti berbagai macam ikan, tetap boleh diambil untuk kebutuhan sehari-hari.
“Egek dibuka dengan Festival Egek, yang biasanya diadakan setahun sekali. Saat itu, masyarakat akan memanen hasil laut beramai-ramai dan menjualnya kepada pengunjung. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk keperluan gereja atau biaya sekolah anak-anak di kampung tersebut,” cerita Rifqy, yang selama ekspedisi sering kali menginap di rumah atau homestay penduduk.
Pulihkan alam, tingkatkan ekonomi
Dalam perjalanannya yang sangat seru, TelusuRI bertemu sejumlah tokoh inspiratif dan menemukan fakta yang mencengangkan. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, Desa Brenggolo di Wonogori, Jawa Tengah, dikenal sebagai daerah yang gersang, kering, dan mudah mengalami longsor.
Lewat perjuangan selama satu dekade, dua warga Wonogori yang sempat bekerja di perkebunan kopi di Palembang membawa bibit kopi dan menanamnya di hutan desa.
“Saat dicoba di kampungnya, tak ada orang yang merespons. Namun, perlahan perjuangan mereka membuahkan hasil. Masyarakat sekitar kemudian percaya bahwa kopi bisa mengubah kehidupan. Berkat kopi, kampung yang awalnya gersang dan kurang sejahtera, bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik daripada sebelumnya. Dari segi ekologi, kopi juga memberi benefit, karena berfungsi menyimpan air,” cerita Rifqy.
Di Bengkalis, Riau, TelusuRI bertemu Samsul Bahri yang merestorasi mangrove. Dulu desanya sering mengalami banjir rob hingga setinggi setengah meter. Padahal, rumahnya jauh dari pantai. Anak-anak sungai sering dilanda banjir, sehingga lahan pertanian dan perkebunan rusak, kelapa jadi terasa asin.
Berangkat dari keresahan itu, Samsul belajar cara merestorasi mangrove sendiri. Mulanya ia bergerak sendiri bersama kelompok-kelompok kecil. Hingga kemudian datanglah Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) yang melakukan pendampingan dengan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA).