Sementara itu, di desa penyangga Taman Nasional Gunung Leuser, tepatnya di Kabupaten Langkat, TelusuRI bertemu Rutkita Sembiring, seorang mantan pembalak liar. Ia mengaku pernah menghabisi pohon di kawasan konservasi Tangkahan seluas 300 – 400 hektare.
“Hutannya memerah karena ditebang habis. Tapi, sekarang sudah kembali hijau dan menjadi destinasi ekowisata ternama,” kata Rifqy.
Rupanya, dialog dengan kelompok mahasiswa pencinta alam membuat Rutkita berputar arah. Ia tak lagi mengeksploitasi kayu dari hutan, melainkan memasarkannya dengan cara berbeda, yaitu ekowisata.
Ekowisata jadi andalan
Di tengah berbagai usaha pelestarian lingkungan, ekowisata, menurut Rifqy, masih menjadi jalan tengah yang merupakan win win solution. Tidak merusak lingkungan dan secara ekonomi juga menghasilkan pendapatan yang cukup bagus. Itulah kenapa banyak kawasan hutan yang menawarkan ekowisata.
Contohnya, hutan mangrove seluas lebih dari 1000 hektar yang digarap oleh Samsul dan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang, dijadikan destinasi ekowisata. Kegiatan yang ditawarkan antara lain susur sungai dan menanam mangrove.
Ada pula Kampung Malagufuk di Sorong yang masyarakatnya menjaga hutan dengan membuat program ekowisata berkelanjutan. Kegiatan yang ditawarkan adalah mengamati lima spesies burung cenderawasih.
Tak kalah menarik adalah ekowisata di Kampung Merabu, yang masih dipenuhi hutan. Kampung ini berlokasi di kawasan ekosistem Karst Sangkulihang-Mangkalirat, salah satu ekosistem karst terbesar di Kalimantan. Di kampung ini terdapat banyak situs bersejarah. Misalnya, Goa Bloyot di dalam kawasan hutan desa, yang di dalamnya terdapat lukisan purba. Ada Danau Nyadeng yang menjadi sumber mata air.
Rifqy bercerita, hasil dari ekowisata dan program adopsi pohon dimanfaatkan untuk membiayai anak sekolah. Karena di sana hanya ada sekolah, maka ketika harus keluar dari kecamatan untuk menjalani pendidikan tingkat SD dan SMA, anak-anak akan diberi beasiswa dari hasil hutan.
Di akhir perjalanan Rifqy dan tim menyadari, pembangunan apa pun tidak bisa dilihat dari kacamata Jawa dan Jakarta. Akan lebih baik, jika semua berbasis kearifan lokal.