Oleh Made Supriatma
Kadang sesuatu yang di depan mata itu nggak kelihatan. Karena ia dinormalkan. Kadang kejahatan dianggap biasa karena ada opini bahwa ada kejahatan yang jauh lebih besar.
Korupsi itu bukan kejahatan karena tidak kelihatan, tidak bisa dirasakan langsung oleh mayoritas orang. Lalu, apa salahnya kalau seorang politisi menggarong dan mengangsir kekayaan negara? Bukankah itu wajar?
Itulah yang menjadi mindset bangsa ini. Mindset yang dipupuk dan dipelihara oleh para influencer, buzzer, dan propagandis-propagandis mewah.
Jadi, Jokorup, kowe tidak korupsi?
Kowe kasih bansos dengan duit negara untuk ngangkat anak mantu dan para gedibalmu jadi pejabat, itu ndak korup?
Kowe suruh iparmu untuk bengkokkan konstitusi supaya anakmu bisa jadi wapres itu ndak korup?
Kowe membiarkan pejabat-pejabat korup supaya bisa kowe sandera, kalau kepentingan politikmu terganggu, itu ndak korup?
Kowe biarkan judi online dan pinjaman online merajalela dibawah hidungmu, dan kowe ndak bikin apa-apa, itu ndak korup?
Sepuluh tahun kowe membuat korupsi itu jadi barang yang normal. Suatu kewajaran. Sama seperti Soeharto dulu menganggap wajar orang maling dan mengembat kekayaan milik bersama — kekayaan negara.
Lembaga-lembaga anti korupsi dan penegakan hukum kowe lemahkan. Korupsi kowe toleransi. Apart-aparat penegak hukum kowe jadikan pelanggar hukum. Dan hukum pun kowe bengkok-bengkokkan sekehendak kepentinganmu.
Dan kowe tidak merasa bersalah sedikit pun. Seperti seorang kleptomania yang suka ambil barang orang lain tanpa merasa bersalah.
Itu problem negeri ini. Orang menggarong habis-habisan milik bersama dan menganggapnya wajar. Tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Dan bahkan merasa benar.
Kleptomaniak hanya mengambil barang-barang kecil. Sementara yang terjadi pada bangsa ini adalah perampokan dalam skala yang tak terbayangkan.
“Saya korupsi apa? Buktikan!” Bagaimana bisa dibuktikan dengan lembaga-lembaga yang sudah kowe hancurkan sedemikian rupa dan kowe jadikan alat untuk mengamankan kepentingan politikmu?