Sabtu, Februari 15, 2025

Masih Perlu Hari Pers Nasional?

Must read

Cacatan Redaksi “Ndoro Kakung” Wicaksono

Di sebuah warung kopi sederhana di pinggiran Jakarta, asap kretek Paklik Isnogud melayang-layang di antara gelas kopi hitam yang baru saja diaduk. Meja kayu yang sudah lecet di beberapa sudut menjadi saksi perbincangan rutin para wartawan muda yang haus cerita dan gosip terbaru. Kali ini, bukan skandal pejabat atau polemik media sosial yang jadi topik utama, melainkan sesuatu yang lebih getir: perpecahan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

“Jadi, tahun ini ada dua perayaan Hari Pers Nasional, Paklik? Satu di Banjarmasin, satu di Pekanbaru ya?” tanya Joni, seorang wartawan baru yang masih sering keliru membedakan antara rilis pers dan berita.

Paklik Isnogud terkekeh sambil menyalakan kretek barunya. “Luar biasa! PWI sukses besar! Dari satu organisasi jadi dua, tapi wartawannya masih tetap miskin, seperti kalian, hahaha…”

Para wartawan muda tertawa getir. Mereka paham betul bahwa di balik pesta dan seremoni yang dijanjikan kedua kubu, ada fakta yang tak bisa disembunyikan: industri media sedang megap-megap, jurnalis makin tak dihargai, dan independensi pers makin tipis, setipis kantong pemilik warung kopi.

“Paklik, kok bisa sih, persatuan pewarta itu sampai terpecah begini?” tanya Andi, yang gajinya ditebas 30 persen sejak enam bulan silam.

Paklik menghela napas panjang. “Gampangnya begini, Nak. Bayangkan ada dua ekor ikan di kolam yang sama. Kolamnya makin kotor, airnya makin dangkal, tapi dua-duanya tetap berebutan wilayah. Padahal, kalau mereka cerdas, harusnya kerja sama buat membersihkan kolam dulu, bukan malah ribut di dalamnya.”

PWI, yang dulu digadang-gadang sebagai rumah besar wartawan, kini lebih mirip seperti partai politik ketimbang organisasi profesi. Para pemimpinnya lebih sibuk mengurus legitimasi kongres dan klaim kepemimpinan ketimbang memikirkan nasib jurnalis yang tiap hari bertaruh nyawa di lapangan atau kehilangan pekerjaan karena media mereka bangkrut.

“Ini bukan soal Banjarmasin atau Pekanbaru,” lanjut Paklik. “Ini soal bagaimana organisasi wartawan yang harusnya menjadi garda terdepan malah berubah jadi pasar malam. Semua ingin panggung, semua ingin mikrofon, tapi tak ada yang benar-benar peduli apakah wartawan bisa hidup layak atau tidak.”

Sembari menyesap kopinya, Paklik menghela napas panjang. “Wartawan itu ibarat penulis sejarah yang bekerja dalam waktu nyata. Wartawan seperti kalian ini bukan tukang pencari panggung. Kalian bukan makelar pengaruh. Kalau organisasi wartawan ingin relevan, mereka harus kembali ke prinsip dasar: membela kebebasan pers, melindungi jurnalis, dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya.”

Paklik menyedot rokok kreteknya dalam-dalam, lalu melepas keras asapnya ke udara, seperti membuang kesal. “Begini ya, Nak. Organisasi wartawan seharusnya berfungsi seperti koperasi, bukan kerajaan. Artinya, harus ada transparansi dalam keuangan, harus ada manfaat nyata bagi anggota, dan harus ada visi yang jelas tentang bagaimana menghadapi tantangan industri media yang makin suram.”

“Kalau organisasi wartawan cuma jadi alat politik atau batu loncatan ke kursi empuk, ya lebih baik dibubarkan saja!” ujar Paklik geram. “Wartawan butuh organisasi yang benar-benar bekerja buat anggotanya, bukan buat kepentingan segelintir elite!”

Joni kembali bertanya, “Paklik, kalau sudah begini, apa publik masih perlu peduli sama PWI?”

Paklik tersenyum sinis. “Itulah masalahnya, Nak. Wartawan itu sebenarnya bukan siapa-siapa tanpa kepercayaan publik. Kalau publik sudah tak peduli, tak percaya, dan tak melihat manfaat dari organisasi wartawan, maka PWI hanya akan jadi fosil di masa depan.”

“Di era digital ini, publik lebih percaya pada individu ketimbang institusi. Wartawan-wartawan independen yang berani dan kredibel lebih dihormati daripada organisasi yang penuh intrik. Jika PWI ingin tetap relevan, mereka harus menjawab pertanyaan sederhana: “Apa manfaat PWI buat wartawan dan buat masyarakat?”

“Selama mereka masih ribut soal kursi ketua dan bukan soal bagaimana menghidupi wartawan, maka publik akan semakin jauh, dan PWI akan jadi seperti rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.”

Warung kopi makin ramai, suara debat di meja sebelah mulai mengalahkan suara motor yang lalu lalang di jalanan. Paklik Isnogud mematikan rokoknya, menatap para wartawan muda dengan mata penuh makna.

“Nasib pers itu ada di tangan kalian. Jangan terlalu berharap pada organisasi. Kalau mereka gagal, ya bikin jalan sendiri. Tapi kalau bisa diperbaiki, ya dorong perubahan dari dalam.”

Para wartawan muda mengangguk. Mereka paham. Dunia berubah, dan kalau organisasi wartawan tak mau berubah, maka sejarah akan melupakannya.

Paklik bangkit, merogoh saku dan melemparkan beberapa lembar uang ribuan ke meja. “Udah, kopi saya yang bayar. Anggap saja traktiran veteran yang masih waras.”

Mereka tertawa. Di tengah segala kekacauan, sinisme, dan cemoohan, satu hal masih tersisa: semangat untuk terus menulis, terus mengabarkan, dan terus mencari kebenaran.

Walaupun organisasi terbelah, jiwa jurnalisme sejati tak boleh ikut hancur.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article