Kamis, Februari 20, 2025

Dari Studio ke Setir, Kisah Para Pejuang Nafkah Tanpa Kamera

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Naik GoCar sering kali membawa saya bertemu dengan orang-orang muda yang terpaksa berpindah profesi. Mereka tersingkir akibat perampingan organisasi atau kalah dalam persaingan yang semakin ketat. Dalam sebulan terakhir, saya bertemu dua orang driver dengan latar belakang yang menarik.

Sebutlan Wisnu, seorang mantan kameraman di dua stasiun televisi swasta, harus beralih menjadi pengemudi setelah program kejar tayang yang ia tangani dihentikan karena ratingnya merosot dan kehilangan iklan.

Lebih dari sepuluh tahun ia mengabdi, tetapi tetap saja tersingkir. Kini, ia mencari nafkah sebagai driver GoCar sambil mengelola bisnis kecilnya—sebuah minibus ELF yang ia beli dengan tabungannya.

Minibus itu ia percayakan operasionalnya kepada tetangganya. Dalam seminggu, kendaraannya keluar empat kali melayani penumpang. Dengan sistem bagi hasil, Wisnu bisa mengangsur cicilan ELF sebesar Rp 11 juta per bulan. Hidupnya tampak lebih tenang, meski ia tak lagi berada di dunia yang membesarkannya.

Agus, kameraman lain yang saya temui, mengalami nasib serupa. Ia terkena efisiensi setelah program yang ia tangani kalah bersaing dengan Instagram, YouTube, dan TikTok. Demi bertahan hidup, ia mencoba peruntungan dengan berjualan teh. Ia membuka tiga pangkalan gerobak teh, salah satunya di ujung jalan kampung.

Namun, hanya dalam hitungan hari, gerobaknya menghilang. Entah bisnisnya gagal, atau ia berpindah ke jalan lain. Bertahan di dunia baru memang tak pernah mudah.

Ayun, perempuan pekerja pabrik alumunium, juga mengalami perubahan drastis. Dua puluh tahun ia bekerja memproduksi ceret dan panci, hingga akhirnya pabriknya kalah bersaing dengan produk Cina dan tutup. Dua ratus karyawan kehilangan pekerjaan, termasuk Ayun.

Kini, ia menjadi driver Grab. Mobil Calya yang ia gunakan merupakan pinjaman dari adiknya. Sistemnya bagi hasil, setoran tetap harus berjalan. Tak ada pilihan lain.

Tanpa GoJek dan Grab, kisah mereka mungkin akan lebih pilu. Mereka hidup di tengah perubahan besar dalam lanskap bisnis. Disrupsi datang silih berganti. Rata-rata mereka memiliki keluarga kecil: istri, dua anak, dan tempat tinggal yang masih ngontrak atau menumpang di rumah mertua.

Lebih sulit lagi bagi para pengemudi ojek online. Untuk bisa mendapatkan 20 penumpang dalam sehari—dan itu pun harus berjuang menembus hujan dan terik—mereka hanya membawa pulang Rp 200.000. Dalam sebulan, angka maksimal yang bisa mereka raih adalah Rp 6 juta, tetapi jumlah itu semakin sulit dicapai. Driver terus bertambah, sementara pasar tetap.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article