Oleh: Dahlan Iskan
Pun sampai di kereta cepat Jeddah-Madinah. Yang seru dibicarakan masih ”dua satu” itu. Dua topik dari satu pidato. Anda sudah tahu: dua-satu itu terjadi di acara ulang tahun partai penguasa kemarin dulu: Gerindra.
Tentu yang menggosipkannya adalah jemaah umrah laki-laki. Asal Indonesia. Mereka masih bicara politik mungkin karena belum pakai baju ihram. Atau karena masih jauh dari Masjid Nabawi di Madinah.
Perjalanan kereta cepat buatan Eropa Jeddah-Madinah ini 1 jam 45 menit. Jaraknya sekitar 450 km. Berhenti satu kali di kota industri tidak jauh dari Jeddah.
Mereka akan berhenti sendiri bergosip begitu tiba di Madinah. Ganti full ibadah. Makan. Ziarah ke makam Nabi. Makan. Ibadah di Raudhah dekat makam. Makan. Salat berjamaah lima waktu. Makan.
Tinggal Anda yang tidak akan berhenti bergosip. Juga Anda. Dan Anda. Semua. Pidato itu memang begitu menggelitik, penting. Penting karena bisa menjawab banyak pertanyaan politik selama 100 hari terakhir. Menggelitik karena gaya pengucapannya yang jenaka. Orisinal. Baru. Mengejutkan.
”Mengejutkan” karena ada satu kata yang diucapkan dengan gaya berbisik. Dua kali. Saya tidak perlu mengutip satu kata itu di sini. Anda sudah mendengar sendiri dari video yang lagi viral. Dan lagi tidak ada huruf di keyboard HP saya yang bisa membunyikan kata penuh makna tersebut.
Ketika membisikkan kata ”asing” itu –asing bagi orang Batak sampai pun Dayak– beliau mendekatkan mulut ke mikrofon. Berbisik tapi jelas.
Ternyata orang Batak sampai pun Dayak kelihatannya juga paham arti kata yang dibisikkan itu. Terlihat dari respon seisi gedung. Mereka kompak tertawa. Atau tertawa karena gaya berbisik yang lucu saja?
”Kata” itu sengaja diucapkan dalam bentuk berbisik, mungkin, agar kelihatan lebih penting. Juga agar terasa setengah rahasia. Bahwa membisikkannya dengan cara menempelkan mulut ke mikrofon, tentu, agar terdengar jelas. Berbisik tapi jelas.
Pesan yang perlu ditangkap: awas! Hati-hati!
Memang dua isu hot terjawab sekaligus dari satu pidato ketua umum Partai Gerindra yang juga presiden Indonesia itu: soal kabinet gemuk dan soal hubungannya dengan Jokowi –presiden yang digantikannya.
Jelaslah bahwa penilaian kita selama ini ternyata salah. Atau dianggap salah. Salah besar. Beliau tegas menyatakan bahwa kabinet ini bukan kabinet gemuk. Saking geramnya atas kesalahan kita itu sampai kata setengah rahasia itu pun dibisikkan dengan sangat jelas.
Maka sejak ada pidato ulang tahun malam itu akan ada pengadilan publik: siapa yang sebenarnya salah. Gemuk atau tidak gemuk.
Dari sini akan mulai muncul garis pembatas. Batas antara kelompok pro gemuk dan pro kurus.
Selama ini garis itu kabur. Orang yang pro-kurus masih mencoba memahami. Presiden lagi terpaksa membuat kabinet gemuk. Banyaknya kelompok pendukung harus diakomodasi agar politik stabil. Toh enam bulan kemudian bisa dilangsingkan. Kalau mau.
Ternyata tidak begitu. Presiden tidak setuju kabinetnya disebut gemuk. Gemuk kurus itu yang penting hasilnya. Gemuk tapi bisa memuaskan apa salahnya.