Minggu, Februari 23, 2025

Danantara, Otoritarianisme, dan Utopia Indonesia Emas

Must read

Oleh Hara Nirankara

Efisiensi anggaran yang menuai banyak protes dari berbagai elemen masyarakat, nyatanya mampu memangkas APBN lebih dari Rp 300 triliun. Uang hasil efisiensi yang katanya untuk membiayai MBG, ternyata sekitar Rp 300 triliunnya disetorkan kepada Danantara.

Tahukah kalian, apa yang aneh dari setoran hasil efisiensi ini? Draft awal Danantara oleh Sumitro Djojohadikusumo yang tak lain adalah ayah dari Prabowo Subianto, menginginkan 1-5 persen laba BUMN masuk ke dalam Danantara. Namun praktek yang dilakukan oleh Prabowo, justru memangkas anggaran di Kementerian sebagai “modal awal” bagi Danantara.

Fakta di atas merupakan sebuah anomali, di mana seharusnya untuk menyuntikkan modal awal bagi Danantara, laba BUMN yang semestinya dijadikan “bahan bakar”.

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang dirancang untuk mengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) senilai Rp 9.000 triliun, menuai rasa kegelisahan tersendiri di benak saya.

Kenapa? Muncul kekhawatiran bahwa Danantara justru menjadi alat otoritarianisme baru, menjauhkan Indonesia dari utopia ekonomi yang dijanjikan, dan malah memperkuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) ala Orde Baru.

Sedangkan yang saya ingat, katanya Prabowo ingin meniru gaya pemerintahan Deng Xiaoping, yang bisa membawa Tiongkok sebagai raksasa ekonomi global saat ini.

Danantara, Temasek, dan Nepotisme

Danantara disebut-sebut ingin meniru model Temasek, Sovereign Wealth Fund (SWF) Singapura yang sukses mengelola aset negara. Namun, ada perbedaan mendasar yang mendasar, di mana Temasek dikelola oleh entitas swasta yang independen dengan fokus pada profitabilitas dan efisiensi, sedangkan Danantara dikelola oleh BUMN yang rentan terhadap intervensi politik.

Menurut teori Principal-Agent Problem (Jensen & Meckling, 1976), dalam struktur BUMN, pemerintah sebagai principal sering kali gagal mengawasi agen (pengelola BUMN) karena konflik kepentingan dan kurangnya independensi.

Hal ini berpotensi menjadikan Danantara sebagai alat politik, bukan motor ekonomi, sebagaimana terjadi pada BUMN era Orde Baru yang sering digunakan untuk kepentingan kroni Soeharto.

Faktanya, jabatan-jabatan strategis di BUMN banyak diisi oleh “orang titipan” partai politik, entah itu ketua partai, kader, hingga buzzer. Nah yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa Danantara sukses mengelola aset negara melalui Super Holding BUMN, jika masih banyak parasit di BUMN itu sendiri?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article