Seandainya tak ada penyelewengan denda sawit di kawasan hutan, Presiden Prabowo Subianto tak perlu membuat kebijakan pemangkasan anggaran yang memotong bujet layanan publik. Prabowo bisa berfokus pada pemotongan anggaran yang tak perlu tanpa harus memangkas anggaran pembangunan sekolah, pengawasan hakim, atau perlindungan hak asasi manusia.
Dalam penghitungan Tim Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, denda sekitar 2.000 perusahaan yang menyerobot kawasan hutan itu bisa tembus Rp 300 triliun. Uang ini bahkan cukup untuk membiayai program makan bergizi gratis yang menjadi proyek prioritas Prabowo.
Namun utak-atik Tim Satuan Pelaksanaan itu membuat negara kehilangan potensi penerimaan negara bukan pajak. Angka Rp 300 triliun itu berasal dari penghitungan denda sawit jika memakai Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 661 Tahun 2023. SK ini memasukkan nilai ekonomi hutan semacam potensi tebangan kayu.
Nilai denda berubah karena muncul SK baru, Nomor 815 Tahun 2023, sebulan setelah SK 661 terbit pada Juni 2023. Nilai denda menurut SK baru ini hanya menghitung provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi sebatas area hutan yang tertanam sawit. Hasilnya, hingga Februari tahun lalu, tagihan denda yang riil masuk kas negara menciut kurang dari separuhnya.
Jaksa sedang menyidik dugaan penyelewengan denda sawit ini. Mereka sudah menggeledah kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyita telepon seluler para pejabatnya, hingga mengangkut barang-barang elektronik dari ruang kerja para pejabat itu untuk pemeriksaan. Jaksa masih menunggu penghitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Denda adalah mekanisme hukuman yang ditetapkan UU Cipta Kerja untuk menyelesaikan penyerobotan sawit di kawasan hutan. KLHK menyebutnya sebagai “ketelanjuran”. Para pengusaha membuka hutan tanpa legalitas yang cukup, sehingga dari sekitar 17,1 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang, sekitar 3,3 juta hektare berstatus ilegal.
Itulah sebabnya sawit Indonesia dicap buruk oleh pasar Uni Eropa karena menyebabkan deforestasi ilegal. Jangan lupa, Indonesia mengenal deforestasi terencana (planned deforestation), yakni deforestasi yang disiapkan dalam pengertian pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) pemerintah kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan perencanaan deforestasi untuk menghitung produksi emisi karbon akibat penggundulan hutan.
Undang-Undang Cipta Kerja, yang dibuat memakai metode omnibus law, mencoba memutus kekacauan perizinan perkebunan sawit itu dengan memasang denda. Pengusaha yang punya kebun di kawasan hutan tak perlu masuk penjara jika membayar denda lalu melengkapi segala perizinannya. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, penyelesaian ini memakai asas ultimum remedium, yang mengutamakan sanksi administratif ketimbang hukuman pidana.

Dengan cara itu, tak mengherankan jika banyak yang menyebut denda sawit sebagai pemutihan penyerobotan hutan oleh korporasi. Kerusakan lingkungan, deforestasi yang menjadi penyebab krisis iklim, dan turunnya nilai komoditas alam Indonesia di pasar dunia cukup dibayar memakai denda. Impunitas ini makin menebal karena jaksa mencium nilainya pun diutak-atik agar lebih murah.
Belakangan, pengampunan itu meluas. Presiden Prabowo Subianto menambah subyek impunitas dengan memasukkan usaha pertambangan di dalam kawasan hutan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Opsi dalam peraturan ini hanya satu, yakni pengambilalihan area perkebunan atau pertambangan oleh negara setelah pembayaran denda.