Senin, April 28, 2025

Mesin Cerdas dan Spiritualitas Pasca-Agama

Must read

Oleh: Lukas Luwarso

Dalam esai “Menyambut Agama di Era AI Tak Bersama Durkheim, Weber dan Karl Marx” Denny JA (DJA) berniat mengisi kekosongan teori tentang agama di era AI. Berbagai teori lama tentang agana, menurutnya, tidak lagi memadai untuk menjelaskan perilaku dan pemahaman tentang keagamaan, sehingga perlu teori baru bernuansa digital.

Ada banyak teori tentang agama yang sudah ditulis oleh filsuf, sosiolog, antropolog, psikolog, agamawan, termasuk pengamat awam, dengan beragam pendekatan. Teori Fungsionalisme/ Psikologis menganggap agama membantu manusia mengatasi kecemasan dan ketidakpastian, khususnya dalam menghadapi kematian atau peristiwa di luar kendali manusia. Agama adalah ekspresi dari ketidaksadaran kolektif (Freud., Malinowski, Jung).

Teori Evolusi, Sosiologi dan Antropologi, melihat agama sebagai hasil proses evolusi kognitif manusia. Tiga tahap perkembangan pemikiran dari teologis, metafisik, dan positif. Dari paradigma magis, menjadi agama, dan akhirnya menuju sains. Agama berperan dalam menjaga stabilitas sosial, sekaligus sarana mengubah masyarakat (Comte, Fraser, Durkheim, Weber).

Teori Materialisme: mengamati agama sebagai hasil kondisi ekonomi dan pertemtangan kelas. Menjadi alat kelas penguasa untuk menentramkan kelas dhuafa yang ditindas. Sebagai “candu bagi masyarakat” agar menerima ketidakadilan sosial. Agama mengalihkan realitas penderitaan dan menproyeksikan keadilan ke dunia supranatural dan Tuhan (Marx, Feuerbach).

Teori Kognitif dan Neurologi, mengamati agama sebagai produk cara kerja otak manusia (Cognitive Science of Religion): Agama berkembang karena kecenderungan pikiran manusia untuk melihat adanya pola dan niatan diibalik berbagai peristiwa–yang dikendalikan dan diatur oleh entitas supranatural.

Manusia memiliki kecenderungan berilusi, melihat keberadaan dunia dimensiblain atau makhluk tak kasat mata dalam kejadian yang tidak dapat dijelaskan. Hyperactive Agency Detection Device (HADD), (Pascal Boyer, Justin Barrett).

Jika DJA merasa perlu membuat “teori baru” maka yang perlu diriset, diulas dan dikaji bukanlah soal “apakah agama itu” (what it is), melainkah “apakah yang terjadi/berlaku” (what it do). Kajian atau teori tentang apa agama sudah sangat banyak dan memadai.

Yang bisa ditambahkan adalah menggali sesuatu yang baru, perilaku beragama di era digital, ketika manusia kini ditemani entitas mesin cerdas AI. Tulisan ini sekadar memberi catatan reflektif dan tambahan referensi untuk DJA untuk memperkaya risetnya.

Singularitas Kecerdasan

Selama ribuan tahun sejarah peradabannya, pertanyaan reflektif tentang apa atau siapa sebenarnya manusia, belum ada jawaban definitif. Mitologi, agama, atau filsafat mencoba menawarkan jawaban atau penjelasan, tetapi selalu kurang memadai. Kini di era sains, dengan munculnya teknologi Artificial Intelligence (AI), identifikasi tentang manusia mendapat perspektif baru.

Manusia bukanlah entitas yang secara definitif jelas, tetap, dan pasti. Teori Evolusi memberikan pemahaman, manusia terus berproses, berkembang, dan berprogres. Secara etimologis manusia adalah istilah normatif, bukan deskriptif. Secara fisik, manusia adalah hominid, kera yang berdiri tegak. Namun beda dengan mahluk hominid lainnya, manusia memiliki kualitas kesadaran, kecerdasan, rasionalitas, pemikiran, dan kemampuan berbahasa.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article