Senin, April 28, 2025

Krisis Pasar Modal Indonesia 2025: Kebijakan Ekonomi dan Anjloknya Kepercayaan Investor

Must read

Dalam kurun waktu singkat, pasar modal Indonesia mengalami kejatuhan yang drastis. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot dari 7.904 pada 20 November 2024 menjadi 6.246 pada 28 Februari 2025, menciptakan guncangan besar bagi investor domestik maupun asing.

Penurunan ini diikuti dengan anjloknya harga saham-saham unggulan (blue chip) yang menjadi tulang punggung likuiditas bursa:

  • BMRI: Rp7.550 → Rp4.550 (-39,7%)
  • BBRI: Rp6.450 → Rp3.360 (-47,9%)
  • BBCA: Rp10.950 → Rp8.425 (-23,1%)
  • BBTN: Rp3.890 → Rp835 (-78,5%)
  • ISAT: Rp3.060 → Rp1.470 (-52%)
  • TPIA: Rp11.225 → Rp6.350 (-43,4%)

Situasi ini memicu langkah cepat lembaga-lembaga keuangan global. MSCI, JP Morgan, dan Goldman Sachs menurunkan peringkat Bursa Efek Indonesia menjadi Tidak Layak Beli. Kapitalisasi pasar ambruk, dan arus dana asing keluar besar-besaran, memperparah tekanan jual di bursa.

Kebijakan Ekonomi yang Menghantam Pasar Saham

Penurunan tajam ini tidak hanya disebabkan oleh faktor global, melainkan juga kebijakan domestik yang kontroversial. Dalam waktu singkat, tujuh keputusan pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto menjadi katalis utama hancurnya kepercayaan pasar:

  1. Pernyataan bahwa Saham adalah Judi
    Presiden Prabowo secara terbuka menyatakan bahwa saham adalah bentuk perjudian yang pasti merugikan. Pernyataan ini memicu gelombang panic selling, terutama pada saham-saham perbankan BUMN, yang merupakan pilar utama IHSG. Ini menjadi sinyal negatif bagi investor institusional yang mengandalkan stabilitas kebijakan.
  2. Penghapusan Pencatatan Hutang KUR
    Kebijakan menghapus pencatatan utang Kredit Usaha Rakyat (KUR) di neraca keuangan bank BUMN membuat investor meragukan transparansi dan kualitas aset bank. Ini mempercepat penurunan nilai saham bank besar seperti BRI dan Mandiri. Jika tidak dikoreksi, hal ini dapat memperburuk akses pendanaan bagi UMKM secara luas.
  3. Pengesahan Danantara
    Disahkannya regulasi Danantara mendapat respons negatif dari pasar. Ketidakjelasan aturan dan potensi konflik kepentingan membuat investor mengurangi eksposur pada saham-saham sektor keuangan. Reformulasi kebijakan ini sangat krusial untuk memulihkan kepercayaan pasar.
  4. Penghapusan Hutang UMKM Rp12,5 Triliun
    Penghapusan utang UMKM tanpa skema restrukturisasi yang jelas membuat BRI, yang memiliki portofolio besar di sektor ini, terpuruk. Investor mengkhawatirkan dampak jangka panjang pada likuiditas dan solvabilitas bank. Tanpa mitigasi risiko yang terukur, ini bisa menjadi bom waktu bagi kesehatan perbankan.
  5. Pembentukan Koperasi Merah Putih
    Pemerintah menginisiasi pembentukan 80.000 koperasi desa dengan pinjaman Rp400 triliun dari bank BUMN (Rp5 miliar per desa). Risiko kredit macet yang tinggi membuat investor asing menarik diri dari pasar, mengantisipasi krisis perbankan. Perlu ada kajian kelayakan dan pengawasan ketat untuk menghindari ledakan NPL (Non-Performing Loan).
  6. Kebijakan Fiskal yang Mengguncang Defisit Anggaran
    Peningkatan belanja negara tanpa strategi pendanaan yang jelas memperlebar defisit anggaran. Pasar melihat hal ini sebagai ancaman terhadap stabilitas makroekonomi, sehingga investor global memilih menarik modalnya untuk menghindari risiko depresiasi rupiah dan inflasi yang tak terkendali.
  7. Minimnya Komunikasi dan Transparansi Kebijakan
    Kurangnya komunikasi yang terstruktur dari pemerintah dan otoritas keuangan terkait rencana pemulihan pasar memperbesar ketidakpastian. Pelaku pasar membutuhkan sinyal yang jelas mengenai arah kebijakan ekonomi, termasuk langkah-langkah konkret untuk mengatasi krisis.
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article