Rabu, April 30, 2025

Usaha Memadamkan Lampu Kuning

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Hari mendebarkan para dealer dealing room di Bank Indonesia dan banyak bank devisa. Di layar monitor tampak quotation asing menjual surat utang pemerintah deras mengalir keluar dari pasar uang.

Sinyal kuning telah menyala dari dealing room. Juga dari Bursa yang mendadak menghentikan perdagangan saham sebelum penutupan sesi pertama pada 18 Maret 2025. BI melakukan operasi senyap: menjinakkan capital outflow itu dengan membeli surat utang pemerintah dari tangan asing. BI juga sekaligus membeli lagi surat utang yang diterbitkan Kementrian Keuangan (Kemenkeu) untuk menutup defisit arus kas APBN 2025.

Dua pukulan sekaligus itu mengharuskan BI mengeluarkan Rp 70,7 triliun (Rp 47,3 triliun untuk pasar uang), dan Rp 23,4 triliun dari penerbitan surat utang Kemenkeu) sampai 18 Maret. Cukup? Belum. BI kemudian melengkapi dengan pinjaman Rp 291,8 triliun ke perbankan. Dari jumlah itu bank BUMN Rp 125,7 triliun, dan bank swasta Rp 132,8 triliun misalnya.

Bank BUMN terutama diharapkan bisa menggunakan dana itu untuk membeli kembali sahamnya (buy back) agar harganya tidak jatuh makin dalam. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian memudahkan langkah itu: emiten tidak lagi harus melalui keputusan RUPS terlebih dulu untuk buy back sahamnya di Bursa. Kompak saling mendukung antara otoritas fiskal (Kemenkeu), moneter (BI), dan OJK untuk menenangkan investor.

Untuk sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani bisa meninggalkan layar monitor di meja kerjanya. Pasar modal dan Keuangan diharapkannya tidak lagi dihinggapi euforia: Jual.. jual.. jual. Apakah benar semangat jual didorong karena likuiditas kering? Atau oleh sinyal ambisius program ekonomi pemerintah yang kurang diterima pasar?

Yang jelas setelah para fund manager meninggalkan pasar modal dan pasar uang mereka mengambil posisi wait and see: minimal menunggu penilaian lembaga pemeringkat seperti Moody atau S&P – setelah sejumlah lembaga keuangan internasional menurunkan posisi RI.

Sinyal itu dinyalakan setelah arus kas APBN sampai Februari defisit Rp 31,2 triliun. Defisit akan melebar setelah kelak pemerintah mengeluarkan gaji ke 13 ASN, sekalipun pada Maret dan April kas pemerintah akan terisi kembali dari penerimaan pajak. Jika defisit makin lebar, akibat membengkaknya subsidi PLN setelah program diskon 50%, BI harus siaga kembali.

Belum lagi ditambah dengan gebrakan program ambisius Prabowo: menghapus utang UMKN/UKM, menaikkan harga gabah hingga Rp 6.500/kg, lalu berencana mengambilalih penggilingan padi dari swasta, dan terakhir membangun 70.000 Koperasi Desa Merah Putih yang masing masing akan dapat bantuan antara Rp 3 – 5 miliar per desa.

Sebelum itu sudah digelorakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah SD sampai SMA, dan kaum perempuan hamil. Program bagus untuk memperbaiki kualitas SDM Indonesia menghadapi kompetisi global. Semua program bak lompatan katak itu jika dihitung sebagian besar merupakan arus kas keluar APBN, sementara arus kas masuk dari pajak dan penerimaan nonpajak tetap tanda tanya

Beban berat di pundak Menkeu Sri Mulyani. Toh di kalangan pemerintah masih ada rasa optimistis, misalnya kebutuhkan modal Danantara yang berasal dari efisiensi APBN dan setoran dividen BUMN akan bisa dipenuhi. Tapi belum tentu bagi para fund manager institusi. Bagi mereka mencampuradukan BUMN blue chip perbankan dengan institusi bermasalah seperti Pertamina dan PLN (yang terus disubsidi) di Danantara tidak elok.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article