Oleh Denny C, Ketua Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keindahan alam yang luar biasa, dari pantai tropis hingga gunung berapi yang megah. Namun, ironi terjadi ketika sektor pariwisata dan perhotelan justru lesu, dengan dominasi wisatawan domestik yang belum mampu menutupi kekurangan kunjungan wisatawan mancanegara. Di saat negara lain berlomba menarik turis asing, mengapa Indonesia justru kesulitan?
Salah satu penyebab utama lesunya sektor pariwisata adalah turunnya anggaran promosi dari pemerintah. Pelaku wisata daerah, seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah menyampaikan keprihatinan mereka terkait minimnya dana promosi. Biasanya, Asosiasi Pelaku Pariwisata mengandalkan Travel Mart dengan sponsor swasta untuk menarik wisatawan, tetapi situasi ekonomi saat ini membuat pencarian sponsor semakin sulit.
Harga Tiket Domestik Mahal, Wisatawan Lebih Memilih ke Luar Negeri
Harga tiket pesawat domestik yang mahal juga menjadi faktor utama. Ironisnya, wisatawan domestik justru lebih memilih bepergian ke luar negeri karena paket wisata ke negara lain seperti Malaysia atau Thailand bisa lebih murah dibanding perjalanan ke destinasi dalam negeri.
Dengan budget di bawah Rp5 juta, wisatawan bisa mendapatkan paket perjalanan lengkap, termasuk tiket pesawat dan akomodasi. Bandingkan dengan tiket pesawat domestik yang harganya selangit, terutama untuk destinasi Indonesia Timur seperti Labuan Bajo dan Raja Ampat.
Sementara itu, wisatawan asing yang biasanya menjelajahi wilayah timur Indonesia juga mengeluhkan harga tiket domestik yang mahal. Banyak dari mereka memilih masuk melalui Singapura atau Kuala Lumpur yang menawarkan koneksi penerbangan lebih terjangkau dibanding harus transit di Jakarta, Surabaya, atau Denpasar.
Contohnya, pembukaan rute Jetstar dari Singapura ke Labuan Bajo menjadi pilihan yang lebih hemat dibanding memulai perjalanan dari kota-kota besar di Indonesia.
Kenaikan PPN dan Dampaknya pada Industri Hotel
Mulai awal tahun 2025, pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan ini dinilai kontraproduktif bagi industri perhotelan yang saat ini sangat sensitif terhadap perubahan harga.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi Sukamdani, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN dapat memberatkan industri perhotelan yang sedang berjuang mempertahankan okupansi di tengah daya beli masyarakat yang menurun.
Pemangkasan Anggaran Perjalanan Dinas Pemerintah
Selain kenaikan PPN, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan pemotongan anggaran perjalanan dinas hingga 50%.
Kebijakan ini berdampak signifikan pada industri perhotelan, mengingat selama ini perjalanan dinas pemerintah berkontribusi hingga 40% terhadap total okupansi hotel, dan bahkan mencapai 70% di wilayah seperti Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua.