Pada Senin pagi, 14 April 2025, para petinggi PT Fore Kopi Indonesia Tbk bertepuk tangan di lantai Bursa Efek Indonesia. Suasana meriah menyambut debut perdana saham berkode FORE, yang langsung melesat 34 persen ke harga Rp252 dari harga penawaran Rp188 per saham. Dari penawaran umum perdana ini, Fore Coffee mengantongi dana segar sekitar Rp353,44 miliar.
Namun, seperti uap kopi panas yang cepat menghilang, euforia pasar menyimpan aroma tanda tanya. Di balik pencatatan saham yang gegap gempita, Fore membawa beban utang nyaris setara dengan dana IPO yang diraih: Rp381,47 miliar.
Fore Coffee, jaringan kedai kopi kekinian yang menjamur di kawasan urban, tengah meniti ambisi besar. Tapi sejarah pasar modal Indonesia mengajarkan bahwa ambisi dan kenyataan tak selalu berjalan seiring.
GoTo, decacorn pertama ASEAN yang sempat dielu-elukan saat IPO pada 2022, menjadi cermin pahit: harga sahamnya kini hanya sepertiga dari harga IPO, tenggelam di bawah ekspektasi karena beban kerugian dan strategi ekspansi yang membebani.
Dibumbui Utang, Diracik Margin Tipis
Dari laporan keuangan per September 2024, utang Fore mencapai Rp381,47 miliar—sekitar Rp249 miliar di antaranya bersifat jangka pendek. Angka ini menempatkan rasio utang terhadap ekuitas (DER) Fore di level 1,71× sebelum IPO, jauh di atas rata-rata sektor F&B yang konservatif. IPO memang menurunkan DER menjadi sekitar 0,66×, namun risiko keuangan belum benar-benar mereda.
Yang juga mencemaskan adalah margin laba bersih yang hanya 5,8 persen. Dari omzet Rp727 miliar, Fore mengantongi laba Rp42,34 miliar. Artinya, setiap kesalahan dalam ekspansi bisa menggerus keuntungan hingga ke titik nadir.
Ekspansi Masif: Mesin Pertumbuhan atau Bom Waktu?
Dalam prospektusnya, manajemen Fore menargetkan membuka 600 gerai baru hingga 2030, dengan 72 gerai tambahan ditargetkan tahun ini saja. Sekitar 70 persen dana IPO dialokasikan untuk ekspansi tersebut. Namun ekspansi fisik menuntut modal kerja dan biaya operasional yang besar—dari sewa lokasi, renovasi gerai, hingga pelatihan karyawan.
Pertanyaannya: apakah pasar bisa menyerap pertumbuhan sebesar ini dalam waktu sesingkat itu? Bila penjualan per gerai baru tidak memenuhi target, arus kas bisa tekor, dan Fore terpaksa mencari pendanaan tambahan, entah lewat utang atau aksi korporasi lanjutan.