Ketika Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat kabinet perdana di Istana Negara, sorotan publik bukan hanya tertuju pada program makan gratis yang ambisius, tetapi juga pada siapa saja yang duduk di sekelilingnya. Lingkaran dalam presiden—yang terdiri dari para penasihat utama dan pengelola agenda negara—didominasi oleh loyalis muda yang memiliki kedekatan personal dan latar belakang serupa.
Mereka adalah Prasetyo Hadi (45), Kepala Sekretariat Negara; Teddy Indra Wijaya (35), Sekretaris Kabinet; Sugiono (46), Menteri Luar Negeri; Sudaryono (40), Wakil Menteri Pertanian; dan Angga Raka Prabowo (35), Wakil Menteri Komunikasi dan Digital. Mayoritas dari mereka merupakan alumni Taruna Nusantara, sekolah semi-militer yang didirikan Prabowo pada 1990, dan memiliki latar belakang militer atau kader Partai Gerindra.
Kedekatan ini menciptakan kohesi yang kuat, namun juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya groupthink—suatu kondisi di mana keinginan untuk mencapai konsensus menghambat penilaian kritis dan alternatif. Dalam konteks pemerintahan, hal ini dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang kurang optimal dan minimnya keberagaman perspektif.
Contoh nyata dari dinamika ini terlihat pada insiden 6 April 2025, ketika pesawat kepresidenan mendarat mendadak di Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu, hanya untuk menjemput Agung Surahman, asisten pribadi presiden, yang kesulitan mendapatkan tiket penerbangan komersial. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan tentang batas antara kepentingan pribadi dan protokol kenegaraan.
Dalam sejarah politik Indonesia, fenomena lingkaran dalam bukanlah hal baru. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lingkaran dalamnya terdiri dari teknokrat muda seperti Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, yang membawa perspektif profesional ke dalam pemerintahan. Namun, perbedaan mencolok terletak pada keberagaman latar belakang dan pengalaman yang mereka miliki, yang berkontribusi pada pengambilan keputusan yang lebih komprehensif.
Sementara itu, Presiden Prabowo menekankan pentingnya loyalitas dalam kabinetnya. Dalam rapat kabinet perdana, ia menyatakan bahwa mereka yang tidak sepenuhnya mendukung program-program utamanya, seperti makan gratis, sebaiknya mengundurkan diri. Pendekatan ini menegaskan bahwa kesetiaan menjadi kriteria utama dalam penunjukan pejabat, yang dapat mengesampingkan pertimbangan kompetensi dan keberagaman pandangan.
Di tengah tantangan besar seperti program makan gratis yang diperkirakan menelan biaya hingga Rp 71 triliun pada 2025, efektivitas pemerintahan sangat bergantung pada kemampuan lingkaran dalam untuk memberikan masukan yang kritis dan beragam. Tanpa itu, risiko pengambilan keputusan yang tidak optimal dan kurangnya inovasi dalam kebijakan publik menjadi semakin nyata.
Dalam demokrasi yang sehat, keberagaman perspektif dan debat yang konstruktif merupakan fondasi utama. Pemerintahan yang dikelilingi oleh loyalis yang homogen berisiko kehilangan kedua elemen tersebut, yang pada akhirnya dapat menghambat kemajuan bangsa. (*)