Senin, Mei 19, 2025

Apa kita tetap relevan dalam dinamika hari ini?

Must read

#Lead for Good: Beware of becoming a used to be …  

Oleh Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach

“Every day we are inventing ourselves and the legacy, if you don’t you just become used to be…” – Marshall Goldsmith.

Satu hal yang tidak dapat kita dustakan adalah bahwa kematian memberangkatkan seseorang dari eksistensinya yang terakhir kemudian menjadi “a person that used to be”. Di dunia ini dulu ia ada. Waktu yang membedakannya.

Sepanjang hidup setiap diri kita selalu berdialog dengan Waktu dan bernegosiasi dengan realitas. Frekuensinya terserah pada pilihan individu, bisa pada pagi diiringi do’a, ada yang setiap malam usai kerja, ada yang melakukannya sepanjang hari, utamanya saat-saat mau ambil keputusan. Dialog berkesinambungan ini akan berpengaruh pada ujung  kehidupan masing-masing, berada di zona regret atau di seberangnya, fulfillment.

Dalam imajinasi agung bernama kehidupan dunia, di lingkungan organisasi bisnis, nonprofit, institusi pemerintahan, bahkan termasuk di wilayah pendidikan, serta lembaga kajian strategis, kenyataannya masih selalu dapat kita temui orang-orang yang membiarkan diri mereka menjadi “a person that used to be” – belum meninggal, tapi dengan jiwa yang mandeg, berhenti tumbuh. Kita sebut saja orang macam ini Beliau.

Salah satu indikasinya: Ketika dalam omong-omong disebutkan seseorang (utamanya tokoh publik), Beliau akan mengatakan “dulu itu dia anak buah saya”, atau, “saya senior dia dulu” dan semacam itu, dengan variasi berbeda. Secara faktual benar, di dunia milter Beliau sekarang jenderal (purnawirawan) atau di lingkungan pejabat negara Beliau mantan menteri atau pejabat tinggi negara. Setinggi apa pun jabatannya dulu, udah tidak real lagi saat ini.

Kenyataannya, orang-orang yang dulunya bawahan atau yunior si Beliau, sekarang punya peran strategis dalam mewarnai kebijakan publik. Si Beliau seperti menolak fakta, seorang mantan anak buah bisa jadi lebih berprestasi ketimbang dirinya. Sedangkan diri Beliau terpaku pada prestasi masa lalu.

Orang-orang begini banyak kita temui di masyarakat, di negara mana pun. Mereka adalah pribadi-pribadi yang memasang jangkar dalam satu titik sukses yang membanggakan sebagai pemberhentian terakhir dalam kehidupan. Senang disebut “yang pernah berhasil di ….” atau “yang dulu dikenal sebagai …”.

Mereka cenderung gagap dalam berdialog dengan kanyataan hari ini. Pertanyaannya, kalau begitu terus perilakunya, apa kontribusi yang kita harapkan dari mereka? Kalau selalu sibuk memperlihatkan diri dulu bagaimana, kapan bisa mengerahkan pikiran dan energi untuk mengelola kenyataan sekarang?

Tampil sebagai “a person that used to be…”  akan menyebabkan siapa pun menjadi tidak relevan lagi dengan realitas hari ini. Ibarat sudah wafat dalam keadaan fisik masih hidup.

Bagi yang masih mau hidup, dalam usia berapapun, kita sepantasnya terus berupaya menemukan diri yang baru, self-inventing, setiap hari. Langkah sederhananya bisa saat berkaca, biasakanlah bertanya pada diri sendiri: Apakah sosok yang hari ini fisiknya terlihat di cermin itu hanya sebuah bingkai untuk potret diri yang dulu atau siap tetap relevan dengan kenyataan?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article