Oleh: Rioberto Sidauruk, Ketua DPP Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (DPP HAPI) dan Menteri Dalam Negeri DPP Lumbung Informasi Rakyat (DPP LIRA)
Di negeri ini, korupsi sudah lama menjadi penyakit kronis. Bukan lagi aib, ia malah sering dianggap risiko biasa dari kekuasaan. Padahal, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum—ia merampas hak rakyat, menghambat pembangunan, dan menghancurkan kepercayaan publik. Jika tak diberantas dengan cara-cara luar biasa, korupsi akan berubah menjadi tradisi: diwariskan, dimaklumi, bahkan dilanggengkan oleh mereka yang bergelar tinggi dan dianggap terpelajar. Maka, wajar jika kita mulai bertanya: masih adakah harapan bagi republik ini?
Makin Tinggi Pendidikan, Makin Canggih Modusnya?
Data dari KPK menunjukkan bahwa sekitar 86 persen pelaku korupsi berasal dari kalangan berpendidikan tinggi—setidaknya lulusan sarjana. Ironis? Sudah pasti. Tapi lebih dari itu, ini memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi di negeri ini belum tentu sejalan dengan integritas. Makin panjang gelarnya, makin lihai pula modusnya. Apakah ini cerminan kemajuan?
Tak salah jika publik merasa geram. Bukankah gelar akademik seharusnya menandakan tanggung jawab moral? Tapi yang terjadi justru sebaliknya: para pejabat terdidik memanipulasi hukum, mempermainkan anggaran, dan menjadikan kekuasaan sebagai alat tawar-menawar. Mereka bisa membungkus korupsi dengan rapi karena mereka tahu caranya—mereka belajar di bangku kuliah.
Pendidikan yang Abai pada Nilai Integritas
Masalah ini tak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan kita yang gagal membentuk karakter. Di banyak kampus, integritas hanyalah slogan, bukan prinsip hidup. Kita sibuk mengejar akreditasi, publikasi ilmiah, dan gelar, tetapi lupa mendidik hati nurani.
Mahasiswa mungkin hafal teori etika, tapi jarang dihadapkan pada dilema nyata. Kita bangga mencetak lulusan cum laude, namun lalai membentuk pribadi utuh. Akibatnya, saat mereka masuk birokrasi atau dunia politik, mereka justru mahir menyamarkan korupsi dengan prosedur. Mereka bukan tidak tahu itu salah—mereka hanya merasa aman karena sistemnya memudahkan.
Hukum Tipikor: Tegas di Atas Kertas, Lunak di Lapangan
Kita tidak kekurangan regulasi. Ada UU Tipikor, ada KPK, Kejaksaan, dan lembaga pengawas lainnya. Tapi sayangnya, penegakan hukum antikorupsi sering kali hanya kuat di atas kertas. Dalam praktiknya, hukum terasa lunak, sarat kompromi, dan kehilangan efek gentar.
Sejak revisi UU KPK tahun 2019, lembaga ini kehilangan taring. Penyadapan butuh izin, kewenangannya dibatasi Dewan Pengawas, dan independensinya kian dipertanyakan. Di sisi lain, pengadilan pun kerap menjatuhkan hukuman ringan. Koruptor bermiliar-miliar dihukum 4–6 tahun, lalu mendapat remisi karena “berkelakuan baik”. Sinyalnya jelas: korupsi bukan lagi kejahatan berat, tapi kejahatan yang bisa dinegosiasikan. Bagaimana mungkin efek jera bisa tumbuh?
Kita tak bisa terus-terusan menyalahkan individu. Sistem politik dan birokrasi kita memang dibangun di atas logika transaksional. Biaya politik mahal, perebutan jabatan penuh lobi dan kompromi, dan kekuasaan sering kali dijadikan tujuan, bukan sarana pengabdian.
Dalam atmosfer seperti ini, orang baik pun bisa tergelincir. Apalagi mereka yang sejak awal hanya mengejar jabatan tanpa landasan moral. Korupsi, dengan kata lain, adalah produk sistemik. Sistem yang memberi ruang, peluang, bahkan perlindungan bagi pelaku. Kita baru bereaksi ketika skandal terlanjur viral—padahal bibitnya sudah lama dibiarkan tumbuh.
Reformasi yang Tak Nyaman bagi Elit
Kalau kita sungguh ingin keluar dari krisis ini, maka solusinya tak bisa setengah hati. Butuh reformasi yang menyentuh akar persoalan—meski itu berarti mengguncang kenyamanan para elit.