Senin, Mei 19, 2025

Anak Haram Konstitusi

Must read

Oleh Budiman Hakim

Di berbagai negara, biasanya rakyat yang kritis ingin menjatuhkan presidennya. Tapi di Indonesia hari ini, presidennya didukung, sementara Wapres terpilih yang ingin diturunkan. Aneh? Banget! Rasanya belum pernah ada peristiwa kayak gini di belahan dunia mana pun.

Gerakan ini berawal dari cerita lama. Setelah Mahkamah Konstitusi membuat keputusan kontroversial soal batas usia capres-cawapres—yang secara ajaib membuka jalan bagi Gibran Rakabuming—kondisi politik Indonesia masuk babak paling absurd dalam sejarah reformasi.

Keputusan MK yang telah mensahkan Gibran memang sudah berlalu tapi bagi sebagian orang sakitnya masih terasa. Lukanya masih menganga. Mungkin akan terus bernanah tanpa bisa sembuh. Mereka sampai menyebut Gibran sebagai “Anak Haram Konstitusi”. Julukan ini lahir dari proses hukum yang lolos secara prosedural tapi dianggap tidak sah secara moral.

Para jenderal purnawirawan mulai angkat bicara. Mereka bukan orang sembarangan. Para mantan Panglima, jenderal bintang empat, termasuk Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden jaman Soeharto, hingga eks pejabat elite TNI dan Polri, bersatu menyuarakan satu tuntutan: Gibran harus diturunkan. Ini bukan gerakan sembarangan. Mereka menyuarakan keresahan rakyat yang merasa demokrasi telah dilukai oleh ambisi politik segelintir orang.

Sebetulnya Gibran adalah sosok yang harus dikasihani. Publik sebenarnya paham: semua ini tak mungkin terjadi tanpa andil Jokowi. Ambisi Bapaknya ini telah menempatkan dirinya pada situasi yang sulit. Banyak orang meyakini bahwa Jokowi haus kekuasaan dan ingin membangun dinasti politik. Persis seperti kata pepatah: “Kekuasaan itu seperti air laut. Semakin diminum, semakin haus.”

Tapi arah angin mulai berubah. Setelah Jokowi lengser, lawan-lawan politik mulai menunjukkan taringnya. Mereka mencoba mengikis eksistensi Jokowi. Muncul kembali isu lama soal ijazah palsu, yang oleh sebagian pihak diyakini sebagai bentuk “balas dendam simbolik” atas pengkhianatan terhadap demokrasi. Narasinya jelas: jika engkau menginjak konstitusi demi anakmu, maka kami bongkar semua dari awal.

Move Jokowi rasanya semakin blunder. Caranya memamerkan keakraban dengan tokoh preman, Hercules, justru memperparah sentimen negatif publik. Kita tau bahwa premanisme semakin membahayakan ruang demokrasi. Baru-baru ini, Hercules, mengancam Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jabar dengan mengatakan bahwa dia bisa mengerahkan 50 ribu anggotanya untuk menggeruduk gedung Sate. Sikap Hercules ini membuat personal branding Jokowi semakin menurun.

Gibran sendiri sulit mendapatkan simpati. Komunikasinya dinilai kaku, tidak empatik, bahkan defensif. Banyak orang masih mengaitkan namanya dengan akun misterius Fufufafa yang dulu menghina Prabowo secara brutal. Ironis: kini dia justru berpasangan dengan orang yang pernah ia serang habis-habisan.

Publik sudah muak. Dan Gibran adalah titik paling mudah untuk diserang. Bukan karena dia tokoh utama, tapi karena dia simbol dari semua kebobrokan politik dinasti. Maka jangan heran kalau gerakan #TurunkanGibran mendapat simpati luas, dari kampus, veteran, hingga warga biasa.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article